Jumat, 03 Agustus 2007

Dimanakah Letak Perempuan,Menurut anda?

Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia. Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia. Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Buku itu menjadi pedorong semangat para perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Sebagai seorang gadis Jawa yang tidak pernah lepas dari hukum “pingit’, ia berjuang untuk mengeluarkan kaumnya dari kebodohan. Bagi dirinya, hanya satu pikiran, membebaskan diri dari kebodohan. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma. Ada beberapa hal yang dapat kita peroleh dari perjuangan seorang perempuan desa, antara lain: pendidikan, kebangsaan, dan feminisme. Dengan membuat sekolah-sekolah gratis, ia berusaha untuk memajukkan pendidikan untuk menciptakan anak-anak bangsa yang terampil dan cerdas sehingga mampu mengimbangi perkembangan teknologi bangsa lain. Dari sini kita coba belajar pentingnya sebuah pendidikan bagi bangsa. Dengan majunya pendidikan bagi kaum perempuan, maka ia akan mampu mendidik anak-anaknya dengan baik, berbekal pengetahuan yang ia peroleh dari sekolah. Dari anak-anak yang cerdas tersebut akan muncul pemimpin bangsa yang tangguh dalam menghadapi tantangan karena dibekali kemampuan dam kepandaian sejak ia lahi, bersekolah, kembali ke rumah, bermasyarakat, dan beranjak tidur. Semua itu hanya bisa diperolah melalui figur perempuan yang hampir setiap saat selalu dekat dengan anak-anaknya. Pun begitu dengan kemajuan seorang ayah dan keluarga. Sosok ibu yang menjadi teman berbagi pikiran dengan ayah sangat diharapkan untuk memberi solusi keluarga dan kehidupan suaminya. Semakin luas pengetahuan seorang perempuan, maka sebuah masalah dapat diselesaikan dengan cepat karena segala pemecahan masalah tidak terpatok pada kemampuan laki-laki untuk memecahkan masalah, melainkan juga dari pihak perempuan. Pengaruh yang lebih luas lagi apabila laki-laki itu adalah seorang pejabat, dengan kemampuan yang dimilikinya, segala persoalan yang menyangkut urusan negara mampu dipecahkan dengan lebih jernih karena hadirnya pihak lain dengan masukan dan pertimbangan dari sisi yang berbeda. Beberapa pendapat yang kontra dengan pemikiran Kartini mengatakan segala hal yang berkenaan dengan urusan bangsa dan negara adalah tugas laki-laki. Nasib perempuan dengan mitos “konco wingking” seakan-akan mengaburkan makna dari feminisme Kartini. Keberadaan wanita yang selalu dinomorduakan dalam segala bidang, kewajiban perempuan yang hanya “kasur, dapur, sumur”, dan tabunya sebuah bangsa dipimpin oleh seorang perempuan merupakan “musuh besar” dari paham Kartini. Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria. Konsep “konco wingking” memang tidak selamanya salah bagi kaum feminis jika kita mencoba melihat konsep itu lebih dalam. Bagi Kartini, seorang perempuan memang selayaknya dan harus selalu menjadi “konco wingking”. Konsep ini sebetulnya meletakkan perempuan sebagai sharing untuk menjalankan roda keluarga. “Konco” atau teman dan “wingking” atau belakang merupakan wujud hubungan dimana antara satu dengan yang lainnya saling menjaga. Jika peran laki-laki selalu di depan, dalam rangka fungsi kemasyarakatannya, maka fungsi wanita sebagai “konco wingking” adalah menjaga agar kondisi keluarga tidak berantakan karena faktor lain yang tidak bisa dihadapi oleh laki-laki, yang sedang sibuk menjalankan fungsinya menjadi garis depan. Peran perempuan dalam hal ini bisa jadi sangat vital seperti halnya “kasur, dapur, sumur”. Jika semua hal tersebut tidak terpenuhi maka mustahil bagi seorang laki-laki untuk keluar dan menjalankan fungsinya dengan sempurna. Seorang laki-laki hanya menjadi bahan gunjingan bagi masyarakat karena ketidakmampuannya untuk menyeseuaikan diri dengan norma-norma masyarakat. Dan yang lebih fatal adalah nilai sebuah keluarga di mata masyarakat itu sendiri akan menjadi negatif.

Oknum Guru.........Bejat

Profesi guru sangat dihormati dalam masyarakat kita. Namun apa yang dilakukan guru Ed, 40 tahun, malah meremas-remas buah dada tiga siswi. Kurang ajar!.....Akibatnya, orang tua siswi marah dan menuntut sang guru dipecat dari tempatnya mengajar di SMP Budi Waluyo, Jalan Cisanggiri III/15, Blok Q 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Permintaan itu disampaikan para orangtua murid didampingi Deputi Menteri Peranan Wanita, Dr.Irma Alamsyah Djaya Putra, LBH APIK, dan Komnas Perlindungan Anak, Sabtu pagi (25/11), di sekolah yang siswanya sebagian besar penderita hiperaktif. Mereka diterima pimpinan yayasan, Mujiono, yang berjanji akan menindaklanjuti permintaan orangtua murid. “Ibu-ibu kami harap bersabar karena penyelidikan sedang berlangsung,” kata Mujiono, usai berdialog dengan orangtua murid dan rombongan. Tak puas dengan penjelasan pihak yayasan sekolah, akhirnya mereka mengadukan kasus yang menimpa anaknya ke Polres Jakarta Selatan. “Kami ingin penyelesaian secara hukum. Jangan korbankan masa depan anak kami,” kata Ny.Cindy Inkiriwang, 40, dan Ny.Feny Anggraeni, 42, orangtua siswa. Aksi pencabulan yang menimpa Vi, 13, Ik, 12, dan Ln, 12, terjadi saat para siswa mengikuti pelajaran ekonomi dan komputer yang diajarkan Ed. Saat itu Vi duduk di bangku belakang. Tiba-tiba Ed membuka kancing baju Vi dan meremas payudara Vi. Kejadian itu dilihat ketua kelas, Koko, dari jendela. Ternyata itu bukan ulah iseng semata yang dilakukan Ed. Tak berapa lama kemudian ia mengulangi aksi serupa terhadap Ik saat belajar komputer. Sang guru ini kemudian mengancam Vi agar tidak menceritakan apa yang sudah dilakukan ke orang lain. Sebenarnya setelah kejadian tersebut, para siswa sudah mengadukan kejadian ini ke guru agama dan guru bimbingan penyuluhan (BP). “Namun laporan tersebut hanya dicatat, tanpa ditindaklanjuti. Karena itu, kami terpaksa lapor ke polisi,” kata Cindy Inkiriwang. Akibat perbuatan itu, Vi dan Ik menjadi trauma dan malas pergi ke sekolah. Selain itu, kasus ini juga menjadi perbincangan para orang tua murid di sekolah tersebut. Sementara itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr.Meutia Hatta Swasono dalam suratnya yang dibawa Dr.Irma Alamsyah Djaya Putra menyesalkan peristiwa yang terjadi di Sekolah Budi Waluyo. “Hal ini tidak hanya perbuatan asusila melainkan juga melanggar UU Perlindungan Anak yang harus diberi sanksi hukum,” tegas Dr.Meutia Hatta(Sumber.WWW.Rileks.com)

Kamis, 02 Agustus 2007

Mempertanyakan Idealisme Mahasisawa Pasca Reformasi

Oleh : Ivan Istyawan*) Mahasiswa Sebgai Agent Of Change. Jargon inilah yang mungkin akan kita dengar saat kita memasuki wilayah kerajaan ilmu bernama universitas. Pada saat yang lain Jargon ini juga akan terdengar lantang dan gagah saat demo berlangsung. Ada kebanggaan tersendiri ketika mendengar Jargon ini apalagi mampu melafalkannya dengan penuh jiwa yang meronta menyuarakan kesewenangan yang terjadi. Namun benarkah Jargon tersebut beserta mahasisawa yang menyuarakannya telah mampu menempatkan diri sebagai Agent Of Change, jika kita membaca sejarah kemerdekaan NKRI serta runtuhnyanya 2 rezim besar Indonesia : Orde Lama dan Orde Baru, maka jawab pastinya adalah YA! Sejarah telah membuktikan bahwa Jargon ini mampu mengantarkan mahasiswa menjadi patirot bangsa. Jargon ini akan selalu manjadi teman setia dalam perjuangan mahasiswa dalam melawan kesewenangan dan menemani keberpihakan mereka pada rakyat jelata yang sengsara secara struktural maupun kondisional. Mahasiswa sebelum munculnya Reformasi tidak pernah mengenal kata mundur walau sejengkal. Hanya demi satu Visi Reformasi, mereka rela meregang nyawa dalam pentas Tragedi semanggi I dan II dan sejumlah kerusuhan Mei 1998. Mereka tak pernah mundur sejengkal walau telah diberlakukan Kebijakan represif berupa Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Hal ini memang menjadi sebuah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi). NKK/BKK menjadi dua akronim yag menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasisiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Orde Baru (ORBA) melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah saat itu ; yang dinilai tiran dan menyemgsarakan rakyat. Simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pasca pemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk dinormalkan. Lahirlah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sekaligus pembubaran dan pelarangan organisasi intra universitas di tingkat perguruan tinggi yaitu Dewan Mahsiswa. Dan sejak 1978 itulah, ketika NKK/BKK diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di kantung-kantung Himpunan Jurusan dan Fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam disiplin ilmu nya masing-masing. Ikatan mahasiswa antar kampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada disiplin ilmunya, misalnya ada Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI). Namun mahasiswa sebagai tulang punggung perjuangan tidak mau diam saja diberlakukan seperti itu. Mereka semakin menguatkan gerakan bawah tanahnya menjalin persatuan antar kampus dengan gerakan yang rapi hanya untuk satu tujuan yang bulat Reformasi. Hingga jatuhlah Orba yang bengis dan tiran. Namun bagaimana dengan saat ini ? Kenapa mahasiswa seaakan tak mampu menampakkan dirinya. Seakan telah letih termakan usianya. Jargon mahasiswa sebagai Agent Of Change seakan tak mampu diteriakkan kapanpun dan dimanapun ia dibutuhkan. Ironis memang, mahasiswa setelah Orde Baru ini seaakan menjadi macan ompong yang berada dalam kerumunan ayam dan tikus perusak komunitas bernama NKRI. Apakah kondisi seperti ini ini yang diharapkan oleh cucuran darah korban kerusuhan Mei 1998 ?Apakah semangat reformasi hanya akan muncul dibulan mei belaka ? Sebuah fenomena besar telah terjadi pada mahasiswa, sekarang mahasiswa seakan kehilangan visi dan arah gerak dan mudah di ombang ambingkan dalam dikotomi pergerakan dan yang berafiliasi pada kelompok tertentu. Sudah saatnya mahasiswa kembali turun ke medan perjuangan dengan meneguhkan kembali idealisme sebagai Agent Of Change, jangan sampai terjerumus ke dalam kepentingan politik praktis yang justru bisa mengubur idealisme mahasiswa. Sulit dimungkiri bahwa politik saat ini sudah menjadi atmosfer yang menghegemoni kesadaran berbagai level kehidupan, termasuk mahasiswa. Di situlah pertaruhan mahasiswa untuk tidak terjebak dalam atmosfer dan tetap kukuh dengan idealismenya. Idealisme mahasiswa tidak serta-merta mematikan sensitivitas politiknya. Justru idealisme itu menjadi pandu agar suasana politik yang masih carut-marut bisa diluruskan kembali pada ruh reformasi yang disuarakan mahasiswa kala itu. Di sinilah idealisme mahasiswa dipertaruhkan dengan gagasan cemerlang bagi kepentingan negara dan bangsa. Dan akhirnya semoga kita mampu menruskan cita-cita reformasi dengan sikap yang bijak. Biodata Penulis : Ivan Istyawan*) Pengurus Pimpinan Wilayah Ikatan Remaja Muhammadiyah Jawa Timur. Mahasiswa semester 3 (FKIP/Pend.B.Inggris) Universitas Muhammadiyah Malang.

Tak Adakah Nurani

Aktris remaja yang pemalu Keira Knightley sudah mendapat seorang pemeran pengganti untuk adegan telanjang di adegan film mendatangnya Domino.

Keira Knightley mendafatarkan Roberta Lorincz untuk menjadi pengganti tubuhnya dalam adegan telanjang di peran film Domin.

Bintang Pirates of The Caribbean, 19, memerakan si pemburu harta yang seksi Domino Harvey di film besutan Tony Scott - tetapi produser sudah membawa di mantan penari balet Rumania Roberta Lorincz melepaskan busana di adegan yang lebih panas.

Lorincz mengatakan dengan antusias "Anda bahkan tidak dapat mengimpikan hal semacam ini di Rumania. Sebagai seorang penari saya tidak memliki kecemasan tentang tubuh saya. Tetapi Keira adalah seorang gadis yang sangat cantik."