Rabu, 26 Desember 2007

Ada Apa dengan PAPERNAS ?

PAPERNAS DICACIMAKI. Penolakan terhadap Partai Persatuan dan Pembebasan Nasional (Papernas) berlangsung di Surabaya. Rabu (23/5) ini, sekitar lima ratusan demonstran dari 12 elemen masyarakat yang tergabung dalam Front Anti-Komunis (FAK) menggelar demonstrasi di depan Taman Apsari Surabaya untuk menolak Papernas. Mereka menganggap Papernas adalah salah satu wujud baru dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengusung nilai-nilai Marxisme dan Leninisme. Dalam demonstrasi itu mereka membakar bendera Papernas dan PKI.
Penolakan terhadap Partai Persatuan dan Pembebasan Nasional (Papernas) terus bergulir. Rabu (23/5) ini di Surabaya misalnya. Sekitar lima ratusan demonstran dari 12 elemen masyarakat yang tergabung dalam Front Anti-Komunis (FAK) menggelar demonstrasi di Taman Apsari Surabaya untuk menolak Papernas. Mereka menganggap Papernas adalah salah satu wujud baru dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengusung nilai-nilai Marxisme dan Leninisme. Demonstrasi itu dilakukan oleh perwakilan berbagai organisasi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, Muhammadyah Surabaya, CICS, MSI, Forum Merah Putih, Ikatan Keluarga Madura (Ikamra), GNPI, Front Pembela Islam (FPI) Surabaya, Pemuda Muhammadyah, Front Umat Islam (FUI), Keluarga Korban Keganasan PKI 48 dan Tajul Muslimin. Dengan menggunakan kendaraan roda empat dan ratusan sepeda motor, massa mendatangi lokasi demonstrasi sejak pukul 09.00 wib dan mulai menggelar aksinya sekitar pukul 10.00 wib. Puluhan spanduk bernada kecaman kepada Papernas dan penolakan terhadap ideologi komunisme serta warning akan kemungkinan bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) terbentang. Orasi-orasi pun tidak jauh berbeda. FAK seakan mengingatkan masyarakat atas bahaya komunisme. "Dari ideologi yang diusung Papernas, tampak sekali Papernas adalah salah satu manifestasi PKI yang akan bangkit kembali di Indonesia," kata orator bernada miring. FAK mensinyalir adanya gerakan terstruktur dari kelompok masyarakat yang simpati dengan PKI untuk kembali membangkitkan ideologi komunis di Indonesia. Salah satunya dengan mengupayakan pencabutan TAP MPRS no.25 tentang pelarangan Marxisme dan Leninisme di Indonesia. Juga Judicial Review (peninjauan kembali) eks PKI yang arahnya pada rehabilitasi, kompensasi dan amnesti. Termasuk keinginan untuk merubah UU no.12 tahun 60 yang melarang anggota PKI menjadi DPR-RI. "Jangan lupa, gugatan class action kepada empat Mantan Presiden RI dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tuntutan kompensasi sebanyak Rp.975 juta - Rp.2 mliar karena menilai ada ketidakadilan dalam sejarah. Yang paling baru adalah pencoretan sejarah PKI di buku-buku sejarah," kata salah satu orator. Puncak dari demonstrasi itu adalah pembakaran bendera Papernas dan bendera PKI sebagai tanda penolakan bangkitanya komunisme melalui Papernas. Usai menggelar demonstrasi, FAK melanjutkan aksinya menuju kantor redaksi Jawa Pos yang berjarak sekitar 9 km. Dalam kesempatan itu FAK ingin berdialog dengan jajaran redaksi Jawa Pos tentang sikap Jawa Pos yang tidak memuat berita-berita tentang penolakan kepada Papernas dan Komunisme. Dalam dialog yang berlangsung di ruang redaksi Jawa Pos, FAK diterima oleh Wapimred Jawa Pos, Taufan Mahdi. Demonstrasi dilanjutkan ke Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Mereka mendesak Kejati untuk membubarkan Papernas. Sumber :http://idnugroho.blogspot.com

Sabtu, 22 Desember 2007

Muhammadiyah Versi Ahmad Dahlan (Gagasannya yang Hampir Mati dan Terlupakan)

Oleh: Maman A. Majid Binfas
Sejarah berdirinya suatu orga­nisasi tidak dapat di­pisah­­kan dari gaga­san dan piki­ran pendirinya. Sebab orang-orang yang kemu­dian bergabung menjadi anggota secara sadar telah menyepa­kati dasar dan tujuan organi­sasi tersebut yang pada hakikatnya merupakan perwu­ju­dan dari gagasan para pendirinya. PSII tidak mungkin dipisahkan dengan HOS Cokroaminoto. NU tidak mungkin dipisahkan dengan Hasyim Asya’ari. Demi­kian juga Muhammadiyah tidak mungkin dipisahkan dari Ahmad Dahlan. Dengan demi­kian gagasan dan pikiran yang muncul kemudian tidak mung­kin dipisahkan dari pikiran dan gagasan awal (para) pendiri­nya, (Moh. Djasman Al-Kindi; sala seorang pencetus berdiri­nya Ikatan Mahasiswa Muham­­ma­diyah dan menjadi ketua umum pertama DPP IMM). Gagasan Ahmad Dahlan yang terpilih adalah bagai­mana dapatnya mengamalkan ayat-ayat al-Qur`an. Dengan demikian Muham­madiyah sebagai organisasi senantiasa diikhtiarkan untuk menjadi tempat untuk mengkaji Al-Qur`an sekaligus menjadi tempat bermusyawarah untuk mengamal­kannya. Oleh kare­na­nya Muhammadiyah tidak mungkin terpisah dari tiga prinsip yakni ; Pengkajian Al-Qur`an, Musyawarah dan amal, yang saat ini hampir “mati” ; antara “ada dan tiada” Dengan demikian warga Muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaitan dengan Ibadah Sholat tepat waktu dan pengamalan ayat-ayat Al-Qur`an, hal itu tidak dimaksud untuk mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk memberi makna kreatif guna penerapannya pada masa kini. Sebab gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan jelas merupakan gagasan dan pikiran kretif dan inovatif. Dalam tulisan yang berjudul Al-Islam dan Al-Qur`an yang sampai sekarang diketahui merupakan satu-satunya tulisan Ahmad Dahlan yang dipublikasikan. Dinyatakan (pada waktu itu) adanya kekalutan di kalangan umat: mereka pecah belah dan tidak pernah bersatu. Dari tulisan KH. Ahmad Dahlan dan pengung­kapan Haji Hajid tentang KH. Ahmad Dahlan dalam berorganisasi berpe­gang pada prinsip: a. Senantiasa menghu­bung­kan diri (memper­tanggung­jawabkan tindakannya) kepada Allah. b. Perlu adanya ikatan persa­u­daraan berdasar kebena­ran (sejati). c. perlunya setiap orang, ter­utama para pemimpin terus-menerus menambah ilmu, sehingga dapat meng­ambil keputusan yang bijaksana. d. Ilmu harus diamalkan. e. Perlunya dilakukan peru­bahan apabila memang diperlukan untuk menuju keadaan yang lebih baik. f. Mengorbankan harta sen­diri untuk kebenaran. Ikhlas dan bersih. Sangat ironis manakalah warga Muham­madiyah meng­abaikan sama sekali gagasan dan pikiran pendiri organisasi­nya ini. Seorang tokoh yang gagasannya telah menghasil­kan salah satu organisasi terbesar di Indo­nesia dan seka­rang banyak kalangan menik­mati­­nya walau­pun dalam berbagai gaya plus bermacam-macam ragam kepentingan (dalam tanda kutip!), baik dalam amal usaha maupun dalam persya­ri­katan Muhammadiyah. Gagasan pikiran cemerlang tersebut, jelas tidak layak untuk diabaikan. Gagasan dan piki­ran sema­cam itu jelas mengan­dung banyak hal yang perlu dipelajari terutama bagi warga Muham­madiyah mana­kala tidak ada maksud untuk menyim­pang dari gagasan dan tujuan berdiri­nya organisasi tersebut. Perlu diketahui, nama-nama seperti Ibnu Taimiyah, Jama­ludin al Afghani dan Muham­mad Abduh, di kala­ngan umat Islam dikenal sebagai ulama penggerak pemba­haruan. Gagasan dan pikiran Ahmad Dahlan dikenal juga sebagai gagasan yang dipengaruhi oleh ulama-ulama tersebut. Oleh karena itu Ahmad Dahlan oleh banyak pakar sering dinyatakan sebagai tokoh pembaharu dan Muham­madiyah dinyatakan sebagai gerakan pemba­haruan. Akan tetapi perlu dicatat bahwa gerakan pemba­haruan yang dilakukan ketiga tokoh tersebut di laksanakan di negara -negara di mana institusi keaga­maan dan fasilitasnya sudah tersedia dengan lengkap. Bahkan Muhammad Abduh sendiri adalah salah seorang ulama di Mesir yang mem­punyai kedudukan ter­hormat di Univer­sitas al Azhar dan Darul Ulum yang merupa­kan pergu­ruan Tinggi yang sangat berwibawa dalam keilmuan agama Islam, tidak saja di negerinya sendiri Mesir, tetapi juga seluruh dunia Islam. Dengan demikian gagasan pemabaharuan Muham­mad Abduh didukung oleh dua Universitas besar tersebut, sehingga cenderung merupa­kan gagasan intelektual. Sedangkan gagasan pemba­haruan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan sama sekali tidak memperoleh dukungan dari lembaga pendidikan apapun. Sebab pada waktu itu belum ada sebuah sekolah pendidikan dasar sekalipun di kalangan umat Islam, sehingga dapat difahami kalau gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan bersifat sangat pratikal, ialah mengembangkan gagasan dan pikiran sekaligus mengu­sahakan fasilitas pendukung untuk melaksa­nakan gagasan dan pikiranya itu. Haji Hajid menuliskan pe­nga­la­man­nya sebagai murid Ahmad Dahlan dalam risalah singkat berjudul falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan, yakni tujuh poin yang dapat dipetik; Pertama; Kerapkali KH. Ahmad Dahlan mengung­kapkan perkataan ulama (al-Ghazali pen) yang menyatakan bahwa manusia itu semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama itu senantiasa dalam kebi­ngungan, kecuali mereka yang beramal. Dan yang beramal pun semuanya dalam kekha­wa­tiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih. Kedua; Kebanyakan mere­ka di antara manusia ber­watak angkuh dan takabur mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. KH. Ahmad Dahlan heran mengapa pemim­pin agama dan yang tidak ber­agama selalu hanya berang­gap, mengambil keputu­san sendiri tanpa mengada­kan perte­muan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran memper­bincangkan mana yang benar dan mana yang salah?. Hanya anggapan-anggapan saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan murid­nya, disepakat­kan dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah mengadakan permu­sya­waratan dengan golongan lain di luar golongan masing - masing untuk membicarakan manakah sesungguhnya yang benar?. Dan manakah sesung­guhnya yang salah? Ketiga; Manusia kalau mengerjakan pekerja­an apa­pun, sekali, dua kali, berulang-ulang, maka kemudian jadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai. Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa kebanya­kan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut atau i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah sanggup membela dengan mengor­ban­kan jiwa raga. Demikian itu karena anggapan­nya bahwa apa yang dimiliki adalah benar. Keempat; Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama meperguna­kan akal pikirannya untuk memikir bagai­mana sebenar­nya haki­kat dan tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mem­per­­gunakan pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaan­nya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati. Kelima; Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang ber­macam-macam membaca bebe­rapa tumpuk buku dan sudah memper­bincangkan, memikir-mikir, menimbang, membanding-banding kesana kemari, barulah mereka dapat mem­­peroleh keputusan, mem­­per­­oleh barang benar yang sesungguh­nya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi kesenangan­nya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata banyaknya kekha­watiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidup­nya seperti makhluk yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menepati kebenaran. Keenam; Kebanyakan para pemimpin belum berani mengor­­bankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolong­nya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasa­nya hanya meper­mainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah. Ketujuh: Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek), Dalam mempelajari kedua ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa mengerjakan tidak perlu ditambah. Pada poin ini, pengurus Muham­madiyah dan angkatan mudanya saat ini, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat wilayah dalam segi teori berlogika tidak diragukan lagi. Namun dalam hal praktik­nya masih perlu lagi diasah/dipertanyakan?, Ibadah Sholat tepat waktu dan kajian al-Qur`an sebagai piranti utama perjua­ngan KH. Ahmad Dahlan, mere­ka logikakan sebagai kebebasan pribadi, lalu shalat subuh rutin jam tuju pagi tidak menjadi soal, belum lagi tata cara shalatnya ber­aneka ragam, hingga keputu­san tarjih dibiarkan bercerita sendiri logika pribadi tanpa dasar itu menjadi ukuran. Bahkan Peng­kaderan sebagai nadi organi­sasi perge­rakan sudah diting­kat­kan pada “logika tinggi plus misi haus kekuasaan” hingga rana nurani, etik, Akhlak, sopan-santun menjadi misi persyarikan tak dihiraukan lagi, sebab libera­lisasi itulah men­jadi dasar hak asasi. Dan proyek politik, proyek suksesi menjadi kenda­raan bisnisnya tanpa mengenal waktu ter­penting proposal laku dan kolusi uang saku tersedia! Kader ataupun bukan?.. persetan! Astagfirullah. Dari tujuh butir pikiran brilian serta dari maka­lah KH.Ahmad Dahlan di atas, lalu kita meng­amati secara seksama aktifitas pengurus Muham­madiyah dan angkatan muda­nya saat ini. Apakah masih ber­cahaya sesuai dengan agenda dasar alam pikiran KH. Ahmad Dahlan?, ataukah justru pikiran serta gagasan KH. Ahmad Dahlan sudah jauh dari akar dasarnya - dilecehkan, atau­kah sudah mati dan padam disebabkan oleh serbuan dari berbagai kepen­tingan, yang menjadi­kan organi­sasi serta amal usaha Muham­madiyah sebagai ‘batu loncatan’ untuk mencapai kepentingan dan kepuasan pribadi atau kelom­­­pok. Bahkan mungkin seba­gian atau kebanyakan, menja­dikan Muhammadiyah bagai­kan lembaga “perseku­tuan berhistoris Hantu” semen­tara gagasan dan pikiran pendiri­nya hanya legenda dan atau sebagai dongeng belaka? Seperti terselubungnya kriteria, yang bisa menjadi presi­den Indonesia, kalau bukan orang jawa, jangan ber­mimpi jadi orang nomor satu di Indonesia. Mungkin begitu juga terjadi pada Muham­madiyah dan angkatan muda­nya beserta gerbongnya, bila dia, bukan orang kelahiran asli daerah atau wilayah tersebut, maka dia tidak bisa menjadi pucuk pada persyari­katan atau amal usaha Muham­madiyah. Lalu apakah demi­kian, tujuan awal niat tulus suci - hati bening KH. Ahmad Dahlan, tempo dulu? Atau didirikannya dengan doa syahdu yang hanya memohon magfirah ridho Ilahi semata. Muham­madiyah bukanlah hantu. Gagasan dan pikiran KH. Ahmad Dahlan bukanlah legen­da dan dongeng belaka! Akan tetapi nilai dan makna ketu­lusan hakiki yang nyata! Semoga terenungkan dalam sanubari..! Dan sesudah KH.Ahmad Dahlan apakah akan ada Muham­madiyah versi baru ? Cerdas tapi tak cerdas..! ber­muka-muka tapi tak bermuka, bermoral tapi tidak berakhlak.?

Rabu, 19 Desember 2007

Resensi Buku " Islam Syari’ah Vis A Vis Negara "

Judul Buku : Islam Syari’ah Vis A Vis Negara Penulis : Zuly Qodir Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta Cetakan : Pertama, September 2007 Tebal : 351 Halaman Peresensi : Ahmad Hasan MS, Pustakawan Kutub Yogyakarta Gerakan formalisasi syari’ah islam akhir-akhir ini marak bak jamur di musim hujan. Di berbagai daerah, wacana formalisasi syari’ah islam mengemuka melalui berbagai macam bentuk tuntutan pemberlakuan peraturan daerah (Perda) berlabel islam yang diusung oleh sekelompok kecil umat islam. Namun, terlepas dari adanya berbagai macam penafsiran, wacana formalisasi syari’at islam kurang mendapat dukungan dari dua ormas besar islam; yakni Nahdlatul Ulama’( NU) dan Muhammadiyah. Buku Islam Syari’ah vis Avis Negara ; ideologi gerakan politik di Indonesia yang ditulis oleh Zuly Qodir, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian ( PSKP ) UGM ini berusaha mengurai secara apik fenomena “demam Syari’ah” di Indonesia. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan dari beberapa karangan penulis yang tersebar di berbagai jurnal perguruan tinggi di Yogyakarta. Bagi Zuly Qodir, lahirnya gerakan formalisasi syari’at islam di negara pluralistik ini merupakan fenomena krusial yang mengundang perdebatan panjang yang tidak pernah berhenti. Akan tetapi, -menurutnya- paling tidak dilatarbelakangi tiga problem. Pertama, problem teologis, yakni karena faktor keyakinan dari pemeluk agama berdasarkan pemahaman atas teks kitab suci secara parsial dan bersifat rigid-tekstual. Akibat dari problem ini, tak jarang menimbulkan adanya truth claim ( klaim kebenaran ) dari para pemeluk ajaran agama sehingga di luar ajaran agama mereka dianggap sesat dan salah. Fenomena inilah yang -oleh Ahmad Najib Burhani- mengakibatkan konflik dan malapetaka dari berbagai pemeluk agama. Kedua, problem kultural. Perbedaan tradisi, keturunan dan lingkungan dari berbagai macam pemeluk agama yang ada di tanah air. Perbedaan ini kemudian bukan dimaknai sebagai rahmat akan tetapi dimaknai sebagai ancaman. Karena itu, wajar bila akhirnya berlaku sifar Su’uddzhan ( prasangka buruk ) dari umat agama lain. Ketiga, problem struktural. Kontrol negara yang begitu ketat terhadap kehidupan umat beragama misalnya tentang SKB( Surat Keputusa Bersama ) dua menteri, yakni menteri agama dan menteri dalam negeri ternyata bukan menimbulkan suasana toleransi antar pemeluk agama akan tetapi mengundang konflik antarumat agama. Adanya undang-undang Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang mengatur tentang perkawinan, hak perwalian, hak pewarisan dan hak pengadopsian anak tak jarang juga menimbulkan problem hubungan umat beragama. Itulah sebabnya, jalan keluar dari kemelut tersebut diatas bagi Zuly Qodir harus menempatkan paradigma kesetaraan dalam kebenaran gama, dengan menumbuhkan Mutual Trust yaitu mengakui dan menghargai kehidupan antarumat agama sehingga tercipta kondisi saling memahami dan toleransi antarumat beragama. Adanya dialog yang terbuka antar pemeluk agama secara intensif dan massif dan jujur juga penting untuk membangun kesepahaman bersama. Pendidikan multikulturalisme juga perlu dikembangkan sebagai jalan untuk menyemai rasa kebangsaan ditengah pluralisme agama. Buku ini layak dibaca bagi semua kalangan yang ingin menyimak lebih jauh tentang merebaknya gerakan syari’ah islam di indoensia. Dengan pendekatan ilmu sosial dan politik, penulis berhasil memadukan keduanya dengan analisisnya yang tajam dan bahasanya yang sederhana sekaligus sarat dengan referensi. Selamat membaca !. Sumber :http://gp-ansor.org/

Selasa, 11 Desember 2007

Kontroversi Aliran Sesat.

Maraknya Aliran Sesat telah Mengundang Perhatian umat, atau paling tidak para pemikir di dunia Islam. Berikut adalah salah satu tulisan yang memberi tanggapan atas pemikiran tokoh Islam yang dianggap liberal.Permasalahannya adalah apakah diskusi atau klaim tentang sesat atau yang diaanggap sesat itu sendiri, merupakan manifestasi dari kesadaran ilahiah atau tidak lebih seperti dalam bahasa Munir mulkan sebagai manifestasi dari "Materialisai Kesadaran ilahiah"?????? Baca Dengan semangat Mencari Kebenaran Bukan Mencari Pembenaran M. Anwar Djaelani Ulama dan Relativisme Kaum Liberal Oleh M. Anwar Djaelani * "JIMAT" yang kerap dijadikan amunisi kaum liberal –antara lain- adalah pluralisme, liberalisme, persamaan tanpa batas, antiotoritas, dan relativisme. Maka, menyusul maraknya diskusi di seputar aliran sesat, terlihat bahwa dua "jimat" yang disebut terakhir itu, yang paling banyak dipakai kaum liberal saat membela kelompok semisal Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Lihat –misalnya- dua tulisan di Jawa Pos. Pada 14/11/07 Mohamad Guntur Romli menulis "Sesatnya Kriteria Sesat". Pada dasarnya, dia menyatakan bahwa kriteria penyesatan versi Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus ditolak, sebab semua orang atau kelompok memiliki derajat yang sama ketika berusaha memahami wahyu. Itupun –kata dia- hakikat kebenarannya baru sampai pada tahap "kebenaran manusiawi" dan bukan "kebenarann Ilahi". Untuk itu, dia bersandar pada hadits bahwa "Perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat". Bisakah hadits itu dijadikan sandaran hujjah? Prof. KH Ali Mustafa Yaqub, MA lewat buku berjudul Hadits-Hadits Bermasalah menilai bahwa hadits itu tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan –oleh karena itu- tidak dapat dijadikan dalil sama sekali. Siapa Ali Mustafa Yaqub? Sekarang, dia salah seorang dari sedikit ahli hadits di Indonesia. Dulu, awal 1970-an- dia mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari, Tebuireng. Dia santri Gus Dur, saat di Jombang. Sebagai tambahan, jika ada yang menilai bahwa kasus Al-Qiyadah Al-Islamiyah tak lebih sekadar perbedaan pendapat saja, maka mengherankan sekali karena kesalahan kelompok itu telah begitu terang. Dari segi nama kelompok, mereka dapat dipastikan tetap beragama Islam. Tetapi, lihatlah syahadatnya! "Asyhadu alla ilaha illa-Alla wa asyhadu anna Masih al-Mau'ud Rasul-Allah." Mereka pun menyatakan shalat dan puasa tak wajib dikerjakam. Maka, pertanyaannya, benarkah ajaran itu sekadar perbedaan pendapat? Itukah contoh dari "kebenaran manusiawi" yang harus kita hormati? Lalu lewat tulisan di Jawa pos, 9/11/07 berjudul "Relativitas Kesesatan Aliran Sesat", Pradana Boy ZTF (dosen Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Malang) juga membela aliran sesat dengan merelatifkan fatwa MUI. Dia menggugat -untuk tak menyebut menghujat- ulama, dengan menyatakan bahwa fatwa itu memiliki potensi "pemaksaan" kebenaran yang sangat tinggi. Hal itu, dikaitkannya dengan pendapat MUI bahwa salah satu kriteria aliran sesat adalah "ketika menafsirkan Al-Qur'an di luar ketentuan kaidah-kaidah tafsir yang berlaku". Boy mendasarkan pemikirannya atas paham relativisme (tafsir), salah satu "jimat" kaum liberal. Tampak, dia berusaha untuk menghilangkan otoritas ulama dalam penafsiran Al-Qur'an. Perhatikanlah pernyataan dia: "Jika MUI merujuk kepada seperangkat kaidah yang dihasilkan oleh ulama tertentu, MUI telah melakukan kesewenang-wenangan. Seolah-olah MUI memiliki hak paling mutlak untuk menentukan metode ini benar dan metode ini salah". Boy menyergah, kaidah tafsir menurut siapa? Boy menyoal, model pendekatan versi siapa? Bukankah –lanjut dia- ahli tafsir itu banyak, seraya menyebut sejumlah "mufassir" liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Arkoun, Hassan Hanafi, dan sejumlah nama lain yang "sejenis" dengan itu. Bahkan, yang luar biasa, tanpa ragu dia ajak pula agar kita membandingkan dengan "tafsir" dari kalangan nonMuslim seperti Anthony John, John Wansbrough, atau Andrew Rippin. Siapa Nasr Hamid Abu Zayd? Atas sejumlah pendapat kontroversialnya, Nasr Hamid Abu Zayd dinilai ulama Mesir bahwa dia telah keluar dari Islam. Maka, ulama Mesir-pun menetapkan dia harus diseret ke pengadilan dan diharuskan bercerai dengan istrinya. Dia kemudian melarikan diri ke Belanda. Siapa John Wansbrough?Lantas, siapa Andrew Rippin? Read More www.mail-archive.com

Selasa, 20 November 2007

Makalah Bedah Buku "Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah" Karya Abdullahi A. An-Na'im

Oleh Ahmad Suaedy “…peran politik Islam tak dapat dipertahankan tanpa reformasi Islam yang signifikan.” (An-Na’im, 2007 hlm. 65). Tulisan ini hanya akan membahas dua teori atau proposisi dari Prof. Na’im yang keduanya saya sepenuhnya setujui. Namun ada beberapa argumen, khususnya dalam konteks Indonesia, yang mungkin berguna untuk memperkuat argumen yang telah diajukan dalam buku ini. Dua hal itu adalah pertama, bahwa pemisahan agama dan negara adalah semacam situasi sine qua non untuk perkembangan dan peran Islam atau Syari’ah ke depan. Namun pemisahan agama dan negara itu tidak selalu berarti sekularisme atau bahkan sekularisasi—apapun arti dari dua kata tersebut. Tetapi di sisi lain bahwa pemisahan agama dan negara tidak selalu berarti agama tidak boleh atau tidak akan bersinggungan dengan politik. Kedua adalah bahwa tuntutan penerapan Syariah sebagai hukum positif yang menjadi fenomena di banyak negara merupakan kombinasi antara problem mengolah warisan sejarah Islam dengan gejala post-kolonial sehingga ia kurang lebihnya sebagai sebuah proses alami yang nyaris tidak bisa ditolak. Masalahnya adalah bagaimana realitas obyektif itu harus dilihat dan, jika mungkin, melakukan antisipasi dan negosiasi untuk keuntungan umat Islam sendiri dan umat manusia secara umum. Islam dan Pemisahan Agama dan Negara yang Tuntas: Kasus Nahdlatul Ulama (NU) Prof. Na’im cukup detail melihat dinamika Islam Indonesia berkaitan dengan Syari’ah, tetapi saya melihat tampaknya ia lebih melihat dari sudut negara, setidaknya dalam buku ini, dan belum memberi contoh kongkrit dari sudut praktik atau pergulatan yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Dari sudut Islam, perspektif hubungan antara agama dan negara memang belum tuntas didiskusikan. Satu pihak melihat bahwa agama dan negara dalam Islam adalah satu (din wa daulah) hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pendapat ini antara lain dianut misalnya oleh para pemimpin Ikhawanul Muslimin yang mula-mula tumbuh di Mesir dan Jamaat al-Islamy yang tumbuh di Pakistan, dan para pengikut mereka yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi harus diketahui bahwa pandangan seperti ini cakupannya sangat luas, dari yang sangat ekstrim sampai yang sangat lunak. Namun dari mereka bisa ditarik garis merah bahwa esksisteni negara-bangsa yang sekuler adalah bersifat sementara yang harus diperjuangkan terus menerus hingga terealisasikannya kesatuan dua unsur tersebut.

Negara Sekuler Yes, Masyarakat Sekuler No!!!

IMPLEMENTASI syariat Islam dalam negara modern jadi polemik publik yang pasang surut di Indonesia. Sepanjang Orde Baru, isu ini sempat redup. Begitu reformasi bergulir, wacana ini kembali meletup-letup. Spektrum pendukung dan penentangnya pun cukup beragam. Ada yang ekstrem, ada yang moderat. Pendukung yang bergaris ekstrem sampai mengusulkan perubahan fundamental, dengan mengubah sistem politik jadi khilafah atau negara Islam. Sementara penentang bergaris keras mendesak perlucutan total negara dari anasir agama. Di tengah pentas wacana keagamaan demikian, sebulanan ini Indonesia kehadiran pakar dan peneliti syariat Islam terkemuka asal Sudan, yang kini jadi guru besar di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat: Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im, 61 tahun. Ia mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Kamis pekan lalu, buku itu didiskusikan di Jakarta. Sebelumnya di Aceh, disusul diskusi di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar, yang dikelola Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Na’im menawarkan pandangan jalan tengah antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya. Berikut petikan wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan Na’im di Hotel Kristal, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Bagaimana Anda menempatkan syariat Islam dalam kehidupan pribadi? Saya seorang muslim, terikat oleh syariat, bertanggung jawab atas syariat, dan kalau meninggal akan menghadapi penghakiman. Saya bertanggung jawab atas perbuatan saya. Yang ingin saya katakan, ini bukan urusan negara. Saya tinggal di Amerika, Sudan, atau Cina, saya tetap terikat oleh syariat karena saya muslim, tapi tidak ada kaitan dengan negara. Saya menyebutkan di buku saya ini: menegosiasikan masa depan syariat. Saya percaya masa depan syariat. Tapi masa depan itu di luar negara. Membiarkan negara mengambil alih syariat akan merusak masa depan syariat, karena akan membuat orang jadi munafik. Anda patuh bukan karena Allah, melainkan karena paksaan negara. Anda mendukung negara sekuler. Mungkinkah religiusitas yang Anda anut itu bisa dikembangkan? Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan. Bagaimana Anda mendefinisikan negara sekuler? Negara sekuler adalah negara yang bersikap netral, apa pun agama warga negaranya. Negara ini tidak boleh ikut campur dalam soal bagaimana saya menjalani hidup sebagai muslim. Negara seperti Iran dan Arab Saudi yang mengklaim berdasarkan Islam justru membatasi kebebasan pilihan saya sebagai muslim. Di Arab Saudi, warga yang beraliran Syiah dipaksa menerima doktrin Wahabi. Padahal, mereka menganggap doktrin itu penyimpangan. Kaum Suni di Iran menghadapi masalah serupa. Negara seperti Amerika dan Inggris lebih menyerupai negara Islam dibandingkan dengan Arab Saudi dan Iran. Faktanya, ketika seorang muslim dihukum di negara mereka, tidak ada yang pergi ke negara Islam lain. Mereka pergi ke Barat. Di sana mereka bisa meneruskan kepercayaan mereka. Karena itu, masyarakat yang religius lebih mungkin terwujud di negara sekuler dibandingkan dengan di negara Islam. Mereka beragama karena kesadaran, bukan karena takut pada negara. Di antara sekian negara berpopulasi mayoritas muslim, mana yang paling mendekati konsep ideal Anda tentang negara sekuler yang netral agama itu? Lebih Lanjut, Baca http://lateralbandung.wordpress.com/2007/08/10/abdullahi-ahmed-an-naim-%e2%80%9cnegara-sekuler-yes-masyarakat-sekuler-no/

Woooow Bedah buku Islam dan negara sekuler.......

Abdullahi Ahmed An-Na'im Penulis Buku Islam dan negara Sekuler Lokasi: Aula BAU, Universitas Muhammadiyah Malang Waktu : Ahad, 9 Desember 2008-07.00 s/d Selesai KETERANGAN UMUM Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka mensosialisasikan dan mendiseminasikan buku terbaru Professor Abdullahi Ahmed An-Na’im yang berjudul “Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Sharia” dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah”. Buku tersebut merupakan hasil penelitian tentang masa depan Syari’ah yang dilakukan di Istanbul (Turki), Kairo (Mesir), Khartoum (Sudan), Taskhent dan Samarkand (Uzbekistan), New Delhi, Aligarh, Mumbai dan Cochin (India), Jakarta dan Yogyakarta (Indonesia) dan Abuja, Jos, Kano dan Zaria (Nigeria) antara Januari 2004 hingga September 2006. Di samping berbahasa Indonesia, buku tersebut juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Bengali, Perancis, Persia, Rusia, Turki dan Urdu. Untuk menggali lebih dalam, maka acara pun disertai dengan tanya jawab dalam bentuk diskusi. TUJUAN KEGIATAN 1. Mensosialisasikan buku “Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah” karya Professor Abdullahi Ahmed An-Na’im. 2. Mendiseminasikan ide dan pemikiran Professor An-Na’im tentang masa depan Syariah Islam. 3. Mendapatkan media dan ruang tukar fikir dan pandangan yang terbuka dengan semua kalangan dan golongan untuk melihat bagaimana sebenarnya wajah masa depan Syariah Islam di Dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Senin, 19 November 2007

Menatap Wajah Islam Indonesia

Adi Bunardi* Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam asal Pakistan pernah menaruh harapan kepada perkembangan Islam di Indonesia. Ia sangat optimis bahwa satu saat nanti Islam di Indonesia akan menjadi kekuatan signifikan dalam mempengaruhi peradaban dunia. Harapan Rahman boleh jadi benar, jika melihat kuantitas umat Islam Indonesia yang sangat besar. Namun bersandar pada aspek kuantitas tanpa diiringi kesadaran keberislaman sejati bak ‘katak merindukan bulan’. Wajah Islam di Indonesia Wajah Islam Indonesia sangat unik jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa muslim lain. Islam di Indonesia menampilkan beragam wajah dalam segala dimensi keislamannya. Dalam perpektif gerakan sosial paling tidak Islam Indonesia mengambil dua wajah yang satu sama lain sangat kontradiktif, yaitu fundamentalisme dan liberalisme. Fundamentalisme Islam Indonesia direpresentasikan oleh gerakan islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Laskar Jihad, Forum Ukhuwah Umat Islam (FKUI), Kelompok Tarbiyah, Dewan Dakwah Islamiyah, MUI dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Gerakan Islam ini menawarkan Syari’at Islam sebagaimana yang mereka pahami sebagai solusi untuk mengatasi problem kebangsaan. Mereka sepekat bahwa akar dari keterpurukan bangsa Indonesia adalah lepasnya akar tunjang akidah dan syariat Islam dalam kehidupan bangsa, khususnya kaum muslim Indonesia sebagai kelompok mayoritas di negeri ini. Gerakan fundamentalis Islam ini memang sangat agresif dalam memperjuangkan cita idealnya. Mereka menampilkan wajah islam yang simbolik sebagai pemikat konsolidasi kekuatan mereka. Peforma keislaman seringkali ditampakan dalam bentuk lahiriah yang seringkali diidentifikasikan dengan budaya Arab, seperti janggut, gamis, dan jilbab panjang. Dalam merespon dinamika politik nasional mereka lebih mengusung masalah syariat ketimbang persoalan kebebasan dan kemiskinan. Salah satu isu utama, misalnya mendorong PERDA Syari’at, dan RUU pornografi/pornoaksi yang hangat akhir-akhir ini. Gerakan fundamentalisme Islam Indonesia ini berorientasi sebagai pemurni akidah dan pengawal syariat dalam kehidupan bangsa Indonesia masa kini. Bagi Islam fundamentalis Al-Quran dan as-Sunnah adalah the way of life yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pandangan mereka terhadap teks-teks agama (nash) terkesan sangat tekstual dan rigid. Sehingga para pengamat islam mendefinisikan mereka sebagai skripturalisme. Rujukan mereka dalam memahami Islam tidak lepas dari pemahaman ulama terdahulu (salaf) seperti Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ahmad bin Hambal dan seluruh tokoh ulama salaf yang dikelompokkan sebagai Ahlul Hadis. Sementara wajah lain Islam Indonesia masa kini adalah liberalisme Islam. Mereka berhimpun dalam Paramadina, Jaringan Islam Liberal (JIL), Islam Transformatif, Islam Progresif, Jaringan Intelektual Muda Muhamadiyah (JIMM), Lkis, dan kelompok diskusi mahasiswa Islam yang mengusung kebebasan berfikir. Mereka lebih menamplkan Islam yang kontekstual. Mereka berupaya keras merelevansikan ajaran Islam dengan perkembangan modernitas. Kebebasan berpikir adalah jargon dalam perjuangan intelektual mereka. Penafsiran mereka terhadap nash seringkali kontroversial, bahkan mereka tidak segan untuk meminjam metode penafsiran yang telah dikembangkan agama-agama lain seperti hermenetika misalnya. Bagi mereka Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Mereka mengapresiasi pandangan klasik Islam namun juga melakukan kritik tajam terhadap pemikiran Islam para ulama terdahulu. Mereka mengusung pluralisme, menggugat otoritas keberagamaan, fiqh progresif kontemporer dan lintas agama, mengedepankan penalaran (akal) ketimbang bersandar pada nash, dan membangun jembatan toleransi yang luwes dengan agama-agama lain. Liberalisme Islam di Indonesia ini memang belum menunjukkan ekspresi intelektual keislaman yang mandiri. Mereka lebih mengeksplorasi pemikiran Islam liberal yang diimpor dari dunia Islam lain. Tokoh-tokoh Islam liberal seperti Musthafa Abdul Raziq, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, Nashr Abu Zaid, Hasan Hanafi, Muhammad Abeed al-Jabiri, dan Abdul Karim Soroush merupakan idola mereka. Tidak jarang artikulasi intelektualitas gerakan liberalisme Islam Indonesia ini merepresentasikan pemikiran para tokoh pemikir muslim liberal tersebut. Liberalisme Islam Indonesia berorientasi pada ranah kultural. Mereka mengkonsolidasikan gagasan-gagasannya memlalui forum-forum ilmiah dan media massa. Mereka agak kurang tertarik dalam wilayah politik. Mereka menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan politik praktis. Seringkali respon mereka terhadap realitas sosial terkesan senafas dengan agenda liberalisasi ekonomi dan politik di negeri ini. Isu demokratisasi, HAM, kebebasan ekspresi dan sistem ekonomi berdasarkan mekanisme pasar bebas merupakan contoh nyata relasi mereka agenda liberalisasi politik dan ekonomi itu. Sehingga kalangan fundamentalis Islam menuding mereka sebagai antek-antek kapitalisme internasional, atau ilntelektual muslim yang sudah teracuni pemikiran Barat. Konvergensi Fundamentalisme dan Liberalisme Konflik dan polemik antara gerakan fundamentalisme Islam dan liberalisme Islam di Indonesia semakin massif pada era pasca reformasi. Tidak jarang konflik itu mengarah kepada hal yang destruktif. Reaksi keras kelompok fundamentalis kepada kelompok liberalis Islam seringkali keluar dari batas kewajaran. Aksi kekerasan nampak jelas mewarnai konflik kedua kubu tersebut. Fatwa hukuman mati bagi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilontorkan FKUI beberapa waktu lalu merupakan reaksi destruktif yang patut disayangkan. Sebaliknya kelompok liberalis Islam acapkali kehilangan dimensi rasionalitasnya dalam merespon reaksi negatif kubu fundamentalisme Islam itu. Hujatan dan makian sering dilakukan kelompok liberalis Islam kepada kelompok fundamentalisme islam itu. Nampaknya belum ada ‘angin segar’ yang lebih menyejukkan dalam konflik dan polemik antara kedua kubu itu. Meskipun belum terbukanya jalan konvergensi antara fundamentalisme dan liberalisme Islam di Indonesia saat ini, tetapi motif dari kedua gerakan islam itu tetap dalam semangat memperjuangan Islam sebagai way of life. Kiranya hanya situasilah yang akan mematangkannya. Harapan untuk berkembangnya dialektika antara fundamentalisme Islam dan liberalisme Islam di Indonesia menuju konvergensi hanyalah menunggu pematangan proses sejarah.[] *Penulis adalah Aktivis IJABI Intellectual Community (IIC) http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=120

Sabtu, 17 November 2007

IRM ; bagian dari 17 kaukus banyuwangi untuk pencerahan

Tameng Umat,Tameng bangsa Artikel Disadur Dari Mengge(g)erkan Kaukus 17 Oleh Barid Hardiyanto* Kaukus dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia berarti koalisi dari berbagai latar yang berbeda. Begitu juga dengan kelahiran Kaukus 17 yang sempat geger. Para anggota legislatif yang “potensial” pro rakyat ini terdiri dari anggota lintas fraksi yakni: PKB, PDI-P, Golkar, PAN, Partai Demokrat (bukan hanya PDI-P plus satu seperti yang diutarakan Sri Hono Wiharto, Ge(r)geran Kaukus 17 DPRD Banyumas, Suara Merdeka, 11/4/2006) yang sedang mengupayakan optimalisasi kinerjanya melalui peningkatan kapasitas anggota legislatif melalui pembentukan kaukus legislatif pro rakyat. Kaukus 17 dan Gerakan Sosial Baru Sebagai kabupaten yang memiliki luas wilayah 132.758,56 Ha yang terbagi dalam 27 kecamatan, 300 desa dan 30 kelurahan, dimana sebagian besar terdiri dari hutan dan persawahan, Banyumas menjadi wilayah yang dianggap strategis untuk pengembangan sumberdaya, terutama dari kekayaan alamnya. Sayangnya, kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Banyumas ternyata menuai problem karena tidak signifikan dengan kondisi sebagian besar petaninya yang mengalami kemiskinan. Hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah hutan telah dikuasai penuh oleh Perum Perhutani. Sebagian besar orang desa berubah menjadi buruh tani karena sebagian besar lahan sawah dikuasai orang kaya yang bukan warga Banyumas. Sumber air terbesar yang terletak di desa Karangmangu telah dikuasai perusahan pengelola air minum milik pemerintah setempat serta beberapa perusahaan swasta. Rata-rata penduduk desa hanya memiliki 0,25 Ha lahan pertanian sebagai satu-satunya sumber hidup, sisanya terdesak menjadi buruh tani. Meski Banyumas terkenal dengan gula kelapanya dengan jumlah penderes yang cukup banyak, tetapi kondisi pasar sangat tidak kondusif dengan rantai perdagangan yang sangat panjang dan monopolistic. Ditambah lagi perhatian pemerintah yang sangat minim terhadap para penderes yang akhirnya mengalami kemiskinan. Memang perkembangan kota Purwokerto semakin meluas, tetapi dampaknya justru mempersempit wilayah pertanian yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar penduduk Banyumas. Melihat kondisi ini, penduduk desa lebih banyak memilih menjadi buruh migran – Banyumas juga terkenal dengan stok buruh migrannya yang banyak- ketimbang harus terus-menerus mengurusi sector pertanian yang tidak menjanjikan, kalaupun buahnya adalah kasus kekerasan yang banyak menimpa mereka. Bagaimana sikap pemerintah daerah terhadap kondisi tersebut? Tidak sedikit program pembangunan yang dilempar pemerintah setempat, terutama ke wilayah pedesaan. Sebut saja IDT, PDM-DKE, PPK, subsidi BBM, JPS, pembangunan infrstruktur, rehabilitasi hutan dan lahan (hutan rakyat), penyaluran modal bagi usaha mikro, dana bergulir dan seterusnya. Program-program tersebut sebagaimana “proyek pemerintah” lainnya hanya berjalan sekenanya. Proyek tersebut seperti tak berbekas –kecuali bekas fisik yang kadang terlihat sudah rusak- karena memang bukan berasal dari kebutuhan masyarakat sesungguhnya. Hal itulah yang menjadi salah satu perhatian gerakan sosial di Banyumas. Mereka mengupayakan suatu gerakan yang partisipatoris dan berperspektif kerakyatan serta membuka jalan bagi alternatif lain: Another Banyumas is Possible. Gerakan tersebut bersebaran dalam berbagai macam sector dan isu baik yang digarap satu lembaga maupun jaringan. Beberapa diantaranya adalah: program kehutanan masyarakat dan lingkungan hidup (LPPSLH, Kompleet, KTH Argowilis, Setan Balong), Pertanian Berkelanjutan/reforma agrarian/kedaulatan pangan (BABAD, Kompleet, LPPSLH, PPB, PKBH, PBHI, Gatra Mandiri, jaringan reforma agraria), Pengembangan Usaha Kecil (LPPSLH, Gatra Mandiri), Perempuan (PKBH, BABAD, LPPSLH, PSW/Puslitwan, APPERMAS, Koalisi Perempuan), Anak –jalanan (Puslitwan, Biyung Emban), Miskin Kota (Forkomi, LSKAR), Pedagang Kaki Lima (LSKAR), tata ruang kota (LSKAR), pendidikan (Figurmas, FMN, KAMMI, IMM, IRM, HMI MPO, HMI DIPO, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI dan organisasi mahasiswa lokal- dan kelompok studi), Buruh (SBSI, SPSI), korupsi (FRMB), pembangunan partisipatif (Jaringan “Bengkel Kerja”), kemiskinan (LPPSLH, Gatra Mandiri), Keuangan Mikro (LPPSLH, Gatra Mandiri), pers/ media dan counter culture (AJI, PWI, Jaringan Media Alternatif, Youth Power, INRESS, kelompok budaya), isu-isu global (BABAD, Kompleet, LPPSLH, PKBH, PBHI, Gatra Mandiri dan ormas mahasiswa), pemerintahan lokal (KAMMI, IMM dan jaringan NGO), Fair Trade (P3R LPPSLH). Tentu saja gerakan ini juga didorong oleh individu-individu yang juga mempunyai komitmen gerakan. Sayangnya, gerakan tersebut belum terbukti mampu mengangkat masyarakat dari jurang ketertindasan. Oleh karena itu diperlukan langkah strategis lain dengan melibatkan stakeholder lainnya, yakni pelaku gerakan yang ada di “jalur kekuasaan”. Dalam konteks teori gerakan sosial baru hal tersebut saat ini “sah” untuk dilakukan. Dengan telah dideklarasikannya kaukus legislatif yang menamakan dirinya Kaukus 17 pada tanggal 1 Mei 2006, jalan perubahan nampaknya semakin terang. Beberapa anggota legislatif telah muncul di media massa maupun di ruang-ruang formal legislatif dengan agenda-agenda kerakyatan. Contoh paling nyata adalah anggota legislatif melakukan dengar pendapat dengan DPR-RI mereka mengusung agenda yang selama ini digelar oleh gerakan sosial seperti: realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD, penolakan atas revisi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, perlunya perhatian terhadap buruh, perlunya layanan kesehatan yang murah, perlunya peninjaunan kembali program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan Operasi Hutan Lestari yang dilakukan Perhutani, memperjuangkan nasib guru dan tenaga honorer, perlunya penataan ulang atas struktur agraria, perbaikan dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipili (CPNS). Berbagai desakan di atas disambut salut oleh DPR-RI, bagi mereka baru kali ini dengar pendapat DPRD tidak menyangkut kepentingan mereka sendiri. Jadi, kege(g)eran keberadaan Kaukus 17 memang perlu diteruskan. Fungsi gerakan sosial lainnya adalah terus melakukan kontrol terhadap kinerja yang dilakukan Kaukus 17 agar tetap berada di rel yang tepat: berpihak pada kepentingan rakyat sebagaimana fitrah DPRD sebagai wakil rakyat.. Selamat datang Kaukus 17. Selamat berjuang dalam kancah pergerakan sosial berdimensi kerakyatan. *Aktivis gerakan sosial di Banyumas dan pembelajar another Banyumas is Possible (www.anotherbanyumas.blogspot.com)

IRM salah satu dianamisator Gerakan sosial Banyumas

Islam agamaku,IRM gerakanku,Advokasi Tjujuan Hidupku Catatan Ringkas Gerakan Perubahan Sosial Di Banyumas oleh Pusdokin LPPSLH Sebagai kabupaten yang memiliki luas wilayah 132.758,56 Ha yang terbagi dalam 27 kecamatan, 300 desa dan 30 kelurahan, dimana sebagian besar terdiri dari hutan dan persawahan, Banyumas menjadi wilayah yang dianggap strategis untuk pengembangan sumberdaya, terutama dari kekayaan alamnya. Secara umum sebagian besar masyarakatnya memilih menjadi petani ketimbang pekerjaan lain meski sector itu hingga sekarang dinilai sulit berkembang dan kurang menjanjikan. Sementara orang juga melihat bahwa Purwokerto sebagai ibu kota kabupaten Banyumas memiliki potensi untuk berkembang menjadi kota pelajar, mirip Yogyakarta. Indikasinya adalah terdapat Perguruan Tinggi yang cukup besar seperti Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Wijaya Kusuma dan Universitas Muhammadiyah. Sekarang ini lembaga pendidikan juga semakin menjamur, terutama yang memiliki spesifikasi jurusan mendukung masyarakatnya untuk segera memperoleh pekerjaan. Sayangnya, kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Banyumas ternyata menuai problem karena tidak signifikan dengan kondisi sebagian besar petaninya yang mengalami kemiskinan. Hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah hutan telah dikuasai penuh oleh Perum Perhutani, sebagian besar orang desa berubah menjadi buruh tani karena sebagian besar lahan sawah dikuasai orang kaya yang bukan warga Banyumas. Sumber air terbesar yang terletak di desa Karangmangu telah dikuasai perusahan pengelola air minum milik pemerintah setempat serta beberapa perusahaan swasta. Rata-rata penduduk desa hanya memiliki 0,25 Ha lahan pertanian sebagai satu-satunya sumber hidup, sisanya terdesak menjadi buruh tani. Meski Banyumas terkenal dengan Gula Kelapanya dengan jumlah penderes yang cukup banyak, tetapi kondisi pasar sangat tidak kondusif dengan rantai perdagangan yang sangat panjang dan monopolistic. Ditambah lagi perhatian pemerintah yang sangat minim terhadap para penderes yang akhirnya mengalami kemiskinan. Memang perkembangan kota Purwokerto semakin meluas, tetapi dampaknya justru mempersempit wilayah pertanian yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar penduduk Banyumas. Melihat kondisi ini, penduduk desa lebih banyak memilih menjadi buruh migran – Banyumas juga terkenal dengan stok buruh migrannya yang banyak- ketimbang harus terus-menerus mengurusi sector pertanian yang tidak menjanjikan, kalaupun buahnya adalah kasus kekerasan yang banyak menimpa mereka. Bagaimana sikap pemerintah daerah terhadap kondisi tersebut ? Tidak sedikit program pembangunan yang dilempar pemerintah setempat, terutama ke wilayah pedesaan. Sebut saja IDT, PDM-DKE, PPK, subsidi BBM, JPS, pembangunan infrstruktur, rehabilitasi hutan dan lahan (hutan rakyat), penyaluran modal bagi usaha mikro, dana bergulir dan seterusnya. Program-program tersebut sebagaimana “proyek pemerintah” lainnya hanya berjalan sekenanya. Proyek tersebut seperti tak berbekas –kecuali bekas fisik yang kadang terlihat sudah rusak- karena memang bukan berasal dari kebutuhan masyarakat sesungguhnya. Hal itulah yang menjadi salah satu perhatian gerakan sosial di Banyumas. Mereka mengupayakan suatu gerakan yang bersifat bottom up sekaligus berperspektif kerakyatan dan membuka jalan bagi alternatif lain. Gerakan tersebut bersebaran dalam berbagai macam sector dan isu baik yang digarap satu lembaga maupun jaringan. Beberapa diantaranya adalah: program kehutanan masyarakat dan lingkungan hidup (LPPSLH, Kompleet, KTH Argowilis, Setan Balong), Pertanian Berkelanjutan/ reforma agrarian/kedaulatan pangan (BABAD, Kompleet, LPPSLH, PPB, PKBH, PBHI, Gatra Mandiri, jaringan reforma agraria), Pengembangan Usaha Kecil (LPPSLH, Gatra Mandiri), Perempuan (PKBH, BABAD, LPPSLH, PSW/Puslitwan, APPERMAS, Koalisi Perempuan), Anak –jalanan (Puslitwan, Biyung Emban), Miskin Kota (Forkomi, LSKAR), Pedagang Kaki Lima (LSKAR), tata ruang kota (LSKAR), pendidikan (Figurmas, ormas mahasiswa –FMN, KAMMI, IMM, IRM, HMI MPO, HMI DIPO, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI dan organisasi mahasiswa lokal- dan kelompok studi), Buruh (SBSI, SPSI), korupsi (FRMB), pembangunan partisipatif (Jaringan “Bengkel Kerja”), kemiskinan (LPPSLH, Gatra Mandiri), Keuangan Mikro (LPPSLH, Gatra Mandiri), pers/ media dan counter culture (AJI, PWI, Jaringan Media Alternatif, Youth Power, INRESS, kelompok budaya), isu-isu global (BABAD, Kompleet, LPPSLH, PKBH, PBHI, Gatra Mandiri dan ormas mahasiswa), pemerintahan lokal (KAMMI, IMM dan jaringan NGO), Fair Trade (P3R LPPSLH). Tentu saja gerakan ini juga didorong oleh individu-individu yang juga mempunyai komitmen gerakan. Sayangnya, gerakan tersebut belum terbukti mampu mengangkat masyarakat dari jurang ketertindasan. Pemberdayaan, pendidikan, pelatihan dan berbagai macam fasilitasi lainnya memang telah dilakukan hanya saja “belum ada bukti kongkret” bahwa rakyat telah berdaya. Upaya telah dilakukan dengan membangun diskusi lintas isu-sektoral untuk mencoba “memenuhi semua kebutuhan fasilitasi rakyat” baik dengan membangun jaringan antar sector/isu maupun jaringan “isu general”. Dan seperti lazimnya, jaringan tersebut seringkali berhenti ditengah jalan, tidak lagi jalan (karena proyeknya habis), sulit dipertemukan. Justru yang sering muncul kemudian adalah problem-problem ditingkat gerakan. Menurut hasil pertemuan jarngan reforma agrarian pada tanggal 29-30 september 2005 yang lalu ada berbagai macam masalah gerakan di Banyumas; beberapa diantaranya adalah: * gerakan yang tidak solid dan kompak * belum adanya dukungan dan saling pengerian antar kelompok * belum mandiri * kampanye yang lemah * belum adanya arah gerak bersama * lemahnya kemampuan/kapasitas dalam berhadapan dengan Negara dan pemodal Tentu saja, problem di atas tidak akan dibiarkan? Ia harus diselesaikan! Dan untuk itulah perlu proses pembelajaran yang terus berlanjut.

NAPAK TILAS IRM

Sejarah Perjuangan IRM Latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas dari latar belakang berdirnya Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam Amal Ma’ruf Nahi Munkar dan sebagai kensekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Di samping itu situasi dan kondisi politik di Indonesia pada era rahun 1956-an, dimana pada masa ini merupakan masa kejayaan PKI dan masa Orde lama. Muhammadiyah menghadapi tantangan yang sangat berat dari berbagai pihak. Sehingga karena itulah dirasakan perlu adanya dukungan terutama untuk menegakkan dan menjalankan misi Muhammadiyah. Oleh karena itu kehadiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggil pada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung dam penyempurna perjuangan Muhammadiyah. Upaya dan keinginan pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah telah dirintis sejak tahun 1919. Akan tetapi selalu saja mendapat halangan dan rintangan dari berbagai pihak, termasuk oleh Muhammadiyah sendiri. Aktivitas pelajar Muhammadiyah untuk membentuk kader organisasi Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mendapat titik –titik terang dan mulai menunjukkan keberhasilannya, yaitu ketika pada tahun 1958, Konferensi Pemuda Muhammdiyah di garut menempatkan organisasi pelajar Muhammmadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muhammadiyah. Keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta yakni dengan memutuskan untuk membentuk IPM (Keputusan II/ no.4). Keputusan tersebut antara lain adalah sebagai berikut : Muktamar meminta kepada PP Muhammdiyah Majelis Pendidikan bagian Pendidikan dan pengajaran supaya memberi kesempatan dan mengerahkan Kompetensi Pembentukan IPM kepada Pemuda Muhammadiyah. Muktamar mengamanahkan kepada PP Pemuda Muhammadiyah untuk menyusun konsepsi Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan untuk segera dilaksanakan setelah mencapai persesuaian pendapat dengan PP Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pegajaran. Setelah ada kesepakatan antara PP Pemuda Muhammadiyah dan PP Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran pada tangggal 15 Juni 1961 ditandatanganilah peraturan bersama tentang organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Rencana pendirian IPM tersebut dimatangkan lagi di dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961 dan secara nasional melalui forum tersebut IPM dapat berdiri dengan Ketua Umum Herman Helmi farid Ma’ruf, Sekretaris Umum Muhammmad Wirsyam Hasan. Ditetapkan pula pada tangggal 5 Shafar 1381 bertepatan tanggal 18 Juli 1961 M sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Irm Dari Masa Ke Masa A. Tahun 1961-1966 Pada tahun ini PP IPM masih dalam pengawasan PP Pemuda Muhammadiyah, dan bersama-sama PP Pemuda Muhammadiyah berusaha mendirikan IPM di seluruh Indonesia. Pendirian IPM di seluruh Indonesian ini didukung oleh instruksi PP Pemuda Muhammadiyah no.4 tahun 1962 tahun 1962 tertangggal 4 Februari 1962 yang berisi Instruksi kepada Pemuda Muhammadiyah daerah se-Indonesia agar membentuk IPM di daerahnya masing-masing. B. Tahun 1966-1969 Musyawarah Nasional Ikatan Pelajar Muhammadiyah I dilaksanakan pada tanggal 18-24 November 1966 di Jakarta dengan menghasilkan keputusan antara lain : Membentuk PP IPM caretaker yakni pimpinan terdahulu yang bertugas melaksanakan tugas kepemimpinan IPM tingkat pusat sampai terbentuknya PP IPM yang baru. Menunuk tim formatur yang terdiri dari Anwar Bey, M. Dfahmi Ms, M. Wirsyam dan unsur PP Muhammadiyah. Akan tetapi sebelas bulan kemudian baru terbentuk PP IPM dengan Ketua Umum Moh. Wirsyam Hasan, Sekretaris Umum Imam Ahmadi. Menetapkan Muqadimah Anggaran Dasar IPM dan Anggaran Dasar. Merumuskan Khitah Perjuangan IPM Pada masa ini aktivis IPM pada umumnya ikut terlibat dalam mengantisipasi perkembangan politik Indonesia. Banyak Aktivis IPM turut terlibat dalam mengantisipasi perkembangan Politik Indonesia. Banyak aktivis IPM yang tergabung dalam KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia). Satu instruksi yang dikeluarkan PP IPM berkaitan dengan KAPPI ditunjukkan kepada daerah-daerah agar terlibat secara aktif di dalam KAPPI. Di samping itu di dalam Muktamar IPM ke-2 di Palembang dikeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa IPM dari tingkat pusat sampai daerah akan tetap merupakan komponen aktif KAPPI masih tetap dapat menjaga kemurnian perjuangannya. Tidak kalah pentingnya ditetapkan Sistem Pengkaderan IPM hasil seminar kader tangggal 20-23 Agustus 1969 di Palembang. Sejak inilah ulai dikenal istilah Taruna Melati, MABITA (Masa Bimbingan Anggota – yang kemudian berubah menjadi MABICA), Coaching Instruktur. Pada periode ini eksistensi IPM digoyang dalam Tanwir Muhammadiyah tanggal 19-21 September 1968. Akan tetapi berkat argumentasi PP IPM dan dukungan AMM lain, akhirnya eksistensi IPM tetap dapat dipertahankan C. Tahun 1969-1972 Munas/Muktamar II Palembang dilaksanakan pada tanggal 27-30 Agustus 1969 menyepakati adanya penyempurnaaan Khittah Perjuangan dengan dilengkapi Tafsir Khittah, Identitas, Tafsir Identitas, dan Tafsir Asas dan Tujuan IPM. Pada periode yang dipimpin oleh Muhsin Sulaiman sebagai Ketua Umum, dan Ahmad Masuku sebagai Sekkretaris Umum berhasil ditetapkan lagu Mars IPM dan Himne IPM sebagai lagu resmi IPM. D. Tahun 1972-1975 MUktamar III IPM di Surabaya melakukan penyempurnaan terhadap tafsir Khittah Perjuangan IPM, tafsir identitas IPM dan menghasilkan tafsir asas dan tujuan IPM serta teori perjuangan IPM. Juga menunjuk Abdul Shomad Karim dan Faisal sebagai Ketum dan Sekum. Pada Konpiwil 1973 ditetapkan sebagai pedoman pengkaderan IPM pengganti pedoman terdahulu yang ditetapkan pada Muktamar II di Palembang. Dalam periode ini aktivitas IPM banyak kemunduran, orientasi program nasionalnya yaitu: “Memantapkan IPM sebagai organisasi dakwah dan partisiasi dalam pembangunan nasional”. E. Tahun 1975-1978 Mukatmar IPM IV yang dilaksanakan di Ujung Pandang tangggal 23-26 Agustus 1975 mengambil tema “ Membina dan Meningkatkan Peranan IPM sebagai Gerakan Dakwah di Kalangan Pelajar” dan menghasilkan program kerja nasional IPM dengan orientasi; meningkatkan partisipasi IPM dalam pembangunan nasional, dengan usaha antara lain: Aktif dalam usaha menanggulangi drop out, menggalakkan kepramukaan, meningkatkan studi pelajar, dan menanggulangi kenakalan remaja dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Pada tanggal 24-26 Desember 1976 hasil Konpiwil 1973 dikaji ulang dan direvisi dalam seminar kader IPM di Tomang Jakarta. Sebagai Ketum adalah Gafarudddin dan Sekum Faisal Noor. F. Tahun 1979 – 1983 Muktamar IPM V dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17 – 11 Juli 1979 dengan mengambil tema: “Generasi muda agamis dan pelajar modal pembangunan bangsa”. Berhasil terpilih Asnawi Syar ini sebagai Ketum dan maulana Yusuf Widodo sebagai Sekum. Dalam Mukatamar IPM V ditetapkan antara lain: IPM tetap berfungsi sebagai organisasi ekstra dan intra sekolah. IPM sebagai organisasi pembina dan pengembangan pelajar yang agamis dan terpelajar sebagai modal pembangunan bangsa. Meningkatkan partisipasi IPM dalam pembangunan nasional: Mendukung program-program pemerintah dalam pembinaan dan pembangunan generasi muda. Meminta pada pemerintah untuk memperketat pengawasan dan pengedaran film serta mass media lain yang memuat gambar tidak senonoh demi menjauhkan generasi muda dari bahaya moral. Orientasi programn IPM adalah studi, kepemimpinan dan dakwah. G. Tahun 1983 – 1986 Muktamar IPM VI sedianya akan diselenggarakan di Purwakarta Jawa Tengah urung dilaksanakan karena tidak mendapat ijin pemerintah. Mulai saat itulah masalah nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi permasalahan di tingkat pusat. Akhirnya Muktamar IPM VI diselenggarakan secara terbatas di Yogyakarta tanggal 30 sepetember – 2 Oktober 1983. Adapun sasaran program yang hendak dicapai adalah: Terbinanya anggota IPM yang berdedikasi terhadap IPM. Terbinanya IPM sebagai organisasi otonom Muhammadiyah yang memiliki mutu dan efektivitas dalam menyelenggarakan kepemimpinannya untuk mencapai tujuan. Terbinanya peran serta aktif IPM sebagai ortom dalam fungsinya sebagai pelopor, pelangsung, peyempurna amal usaha Muhammmadiyah serta berintegrasi dalam Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya. Di bawah kepemimpinan Masyhari Makhasi dan Ismail Ts Siregar focus utama kegiatan dalam pembina ke dalam dengan melakukan konsolidasi organisasi sampai tingkat bawah. Pada periode ini SPI kembali diperbaharui melalui forum seminar dan Lokalarya Pengkaderan tahun 1985 di Ujung Pandang, dilakukan pula pengembangan materi pengkaderan yang ada. H. Tahun 1986 – 1989 Muktamar IPM VII dapat terselenggara tanggal 26 – 30 April 1986 di Cirebon dengan tema: “Memantapkan gerakan IPM dalam membangun akhlak mulia dan memupuk kreatifitas pelajar”. Periode ini memiliki tujuan umum program nasional yaitu terciptanya tradisi keilmuan dan kreatifitas di kalangan anggota yang dijiwai oleh akhlak mulia sehingga menjadi teladan di lingkungannya. Tidak kurang beberap konsep dihasilkan pada periode ini seperti Sistem Dakwah Pelajar yang berisi komponen Mabica, Maperta, Pekan Dakwah, Latihan Da’i. Di samping disusun pula Sistem Administrasi IPM. Pada periode kepemimpinan Khoiruddin Bashory dan Azwir Alimuddin ini masalah nama IPM masih menjadi agenda penting dan belum menunjukkan hasil sehingga berakibat gagalnya rencana penyelenggaraan Muktamar VIII di Medan yang diganti menjadi Muktamar Terbatas (silaturahmi pimpinan) di Yogyakarta. Tahun 1990 – 1993 Di bawah kepemimpinan M. Jamaluddin Ahmad dan Zainul Arifin AU, menghasilkan Konsep Pengembangan Sumber Daya Manusia, Latihan Penelitian, Pembentukan KIR, Pengelolaan Studi Islami. Muktamar terbatas yang mengambil tema; “ Mengembangkan gerak IPM dalam membina akhlak dan kreatifitas pelajar menuju masyarakat utama” memberikan arahan program dengan target: Meningkatkan kualitas hidup anggota IPM dan pelajar pada umumnya dengan usaha peningkatan penghayatan hidup yang tertib ibadah, tertib belajar dan tertib berorganisasi. Meletakkan kerangka mekanisme kepemimpinan dan keorganisasian yang semakin mantap untuk melakukan pembinaan tahap berikutnya. Perubahan IPM ke IRM Dalam Konpiwil IPM 1992 Yogyakarta, Menpora Akbar Tanjung secara implisit menyampaikan kebijakan pemerintah pada IPM untuk melakukan penyesuaian tubuh organisasi. Usai Konpiwil PP IPM diminta Depdagri mengisi formulir direktori organisasi dengan disertai catatan agar pada waktu pengambilan formulir tersebut nama IPM telah berubah. Karenanya PP IPM yang sebelumnya telah mengangkat tim eksistensi yang bertugas menyelesaikan masalah ini melakukan pembicaraan intensif. Akhirnya diputuskan perubahan nama Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan pertimbangan: Keberadaan remaja sebagai kader persyarikatan, umat dan bangsa selama ini belum mendapat perhatian sepenuhnya dari persyarikatan Muhamadiyah. Perlunya pengembangan jangkauaan IPM Adanya kebijakan pemerintah RI tentang tidak diperbolehkannya penggunaan kata “Pelajar” untuik organisasi berskala nasional. Keputusan pergantian nama oleh PP IPM ini tertuang dalam SK PP IPM Nomor VI/ PP.IPM/ 1992, yang selanjutnya perubahan tersebut disajikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 22 Jumadil Awal 1413 H/18 November 1992 M melalui SK No. 53/SK-PP/IV.B/1.b/1992 tentang pergantian nama (Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah). Dengan demikian secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18 November 1992. J. Tahun 1993 – 1995 Setelah perubahan nama, maka Muktamar IRM pertama tanggal 3-7 Agustus 1993. Dengan pertimbangan nilai historis Muktamar itu disebut dengan Muktamar IRM IX yang bertemakan “Aktualisasi Gerak IRM dalam peningkatan kualitas remaja muslim menghadapi PJPT II”. Muktamar yang berlangsung meriah dan dihadiri sekitar 700 orang utusan dari seluruh tanah air behasil menetapkan Anggaran Dasar, Khittah Perjuangan, Kepribadian IRM, Garis-Garis Besar Kebijakan IRM, Pimpinan Pusat periode 1993-1995 (Ketua Athailah A. Latief dan Sekretaris Arief Budiman) dan beberapa rekomendasi. Termasuk dalam keputusan Muktamar adalah menetapkan sasaran utama program jangka panjang yaitu upaya menciptakan tradisi keilmuan yang berwawasan iptek dan tradisi berkarya krteatif yang dijiwai akhlak mulia dalam rangka membentuk sumber daya remaja yang potensial sehingga mampu menjadi modal utama bagi terbentuknya komunitas remaja yang islami dan menjadi pelopor di lingkungannya. Sasaran tersebut dilaksanakan secara bertahap, berencana dan berkesinambungan selama empat periode Muktamar. Pada periode Muktamar IX (1993-1995) aktifitas IRM diarahkan kepada upaya penataan mekanisme gerakan yang kondusif bagi terciptanya tradisi keilmuan yang berwawasan iptek dan berkarya kreatif yang dijiwai akhlak mulia. Pada Konpiwil IRM tahun 1994 di Kendal ditetapkan Anggaran Rumah Tangga dan setelah itu dilakukan penataan pimpinan dengan pergantian sekretaris yaitu M. Irfan Islami dan perubahan susunan personalia lainnya. Pada periode ini telah berhasil pula ditetapkan Anggaran Rumah Tangga, penyempurnaan Sistem Pengkaderan IRM, Pedoman Administrasi, Lagu Mars IRM dan peraturan-peraturan penting lainnya. K. Tahun 1996 –1998 Muktamar X di Surakarta pada tanggal 11 – 15 maret 1996 dengan agenda pendukung acara yang sangat menarik adalah BASIRA (Bakti Silaturrahmi Remaja) yang terdiri dari Perkampungan Kerja dan Pelatihan Kepemimpinan Pelajar Muhammadiyah Se Indonesia. Muktamar ini memilih Izzul Muslimin sebagai Ketua dan sekretaris Iwan Setiawan Ar Rozie. Periode Muktamar X diarahkan pada upaya pemantapan mekanisme gerakan yang kondusif bagi terciptanya tradisi keilmuan yang berwawasan iptek dan tradisi berkarya kreatif yang dijiwai akhl;ak mulia. Pada periode ini terumuskan garis-garis besar kebijakan IRM (GBK IRM) yang mencakup tentang pola dasar kebijakan dan pola dasar kebijakan IRM jangka panjang. Periode 1996 – 1998 ini mulai dirintis adanya lembaga khusus PP IRM seperti LAPSI, Bina Mentari, Alifah, Bengkel Seni Ufuk dan Lembaga dakwah. Dalam jumlah personel pengurus boleh paling sedikit yang hanya berkisar 15 orang PP IRM, nanti pada Konpiwil Palembang 1997 terjadi penambahan pengurus dengan memasukkan anggota pimpinan. L. Tahun 1998 – 2000 Muktamar XI di Makassar pada tanggal 21 –24 Mei 1998 Di makassar mengambil tema; “ Mentradisikan Ilmu, Mengembangkan Karya, Menuju Prestasi” dengan Ketua Taufiqurrahman dan Sekretaris Raja Juli Ahntoni. Yang diarahkan pada upaya pengembangan program yang mendukung terciptanya tradisi keilmuan yang berwawasan iptek dan tradisi berkya kreatif yang dijiwai akhlak mulia. Muktamar XI ini sangatlah bersejarah dalam benak seluruh kader IRM dimana pada tanggal 21 Mei 1998 bersamaan dengan pembukaan Muktamar juga terjadi proses pergantian kepemimpinan nasional dengan pengunduran diri Presiden Soeharto. Selain itu IRM kembali menegaskan komitmennya sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar tidak berpolitik praktis dalam Deklarasi Makassar, juga terjadi perubahan AD dan ART IRM, terumuskannya agenda aksi seperti sekolah kader, gerakan pendampingan agama Islam, gerakan advokasi remaja selain itu perintisan kerjasama dengan pihak Founding menjadi kerja-kerja periode ini seperti terlibatnya IRM dalam JPPR dalam program Pemilu 1999. M. Tahun 2000 – 2002 Tanggal 8 – 11 Juli 2000 di Jakarta adalah Muktamar IRM ke 12 yang merupakan Muktamar gabungan dengan Muhammmadiyah, Aisyiah, Nasyiatul Aisyiah dan IRM, Muktamar yang dihadiri seluruh utusan pimpinan wilayah IRM ini membahas dan menetapkan penetapan kembali nama IRM setelah melauli perdebatan yang panjang setelah adanya usulan pengembalian nama IPM. Dalam Muktamar ke – 12 ini ditetapkan antara lain: Dasar-Dasar Grrakan IRM atau Paradigma Gerakan IRM Kepribadian IRM Kepribadian Kader IRM Perubahan Struktur Bidang IRM Pada Muktamar ini bidang Irmawati ditiadakan, Bidang Organisasi dan Hikmah dan Advokasi merupakan bidang tambahan dari struktur IRM. Tema yang diangkat adalah “Meneguhkan jati Diri, Merapatkan barisan Menuju Indonesia Baru” ini menetapkan Raja Juli Antoni sebagai Ketua Umum dalam pemilihan langsung yang merupakan model pemilihan baru di IRM dan Arif Jamali Muis sebagai Sekretris Jendral. Pada Mukrtamar ini pula penyusunan kebijakan IRM jangka panjang tahap kedua ditetapkan selama empat kali pelaksanaan Muktamar dimulai dari periode muktamar XII sampai Muktamar XV dimana masing-masng tahapan memiliki sasaran khusus dalam kerangka sasaran jangka panjang yaitu: Muktamar XII : diarahkan pada penataan dan pemantapan gerak organisasi dengan mengusahakan kemandirian/otonomisasi dan pengembangan program-program advokasi kepelajaran/ keremajaan yang muatan-muatannya antara lain adalah memupuk kepekaan sosial politik, etos intelektual dan nilai-nilai moral kepada remaja/ pelajar. Muktamar XIII : diarahkan kepada pengembangan gerakan untuk mencapai daya tawar (bargaining position) IRM yang kuat dengan mengusahakan sikap kritisme organisasi pengembangan program-program pemberdayaan yang memuat antara lain penyadaraan politik, amaliah transformatif dan penguasaan IPTEK. Muktamar XIV : diarahkan kepada penegmbangan gerakan untuk mewujudkan gerakan IRM sebagai kekuatan transformatif di masyarakat dengan mengusahakan penguasaan program-program alternatif pemberdayaan. Muktamar XV : diarahkan kepada pengembangan gerakan meunju internasionalisasi gerakan dengan mengupayakan bentuk pemberdayaan yang dapat menguatkan daya saing yang antara lain bermuatan penguasan IPTEK dan keterampilan professional. Dimana Muktamar XII diarahkan pada penataan dan pemantapan gerak organisasi dengan mengusahakan kemandirian/otonomisasi dan pengembangan program-program advokasi kepelajaran/keremajaan yang muatan-muatannya antara lain adalah memupuk kepekaan sosial politik, etos intelektual dan nilai-nialai moral kepada remaja/pelajar. Dimana pada periode ini semakin terlihat kerjasama dengan pihak Founding dengan beberapa agenda program di antaranya SRATK (Studi Refleksi Aktif tanpa Kekerasan). Penerbitan Buletin Retas dan Pelatihan Sadar Gender. Selain itu adanya program pendampingan anak korban konflik Maluku dengan pembentukan relawan pada TOT paralegal, Peluncuran Album ke-2 lagu-lagu IRM. Dan tak kalah pentingnya adanya rekonstruksi Sistem Perkaderan pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional Sistem Perkaderan IRM tanggal 20 –24 April 2002 di Kota makassar. N. Tahun 2002 –2004 “Membangun Kesadaran Kritis Remaja Sebagai Subjek Perubahan” adalah tema yang diangkat pada Muktamar ke-13 Di Yogyakarta pada tanggal 10 – 13 Oktober 2002, dimana disahkannya Khittah Perjuangan IRM atas penyesuaian dari dasar-dasar perjuangan IRM hasil Muktamar ke-12 serta revisi AD dan ART IRM. Pada Muktamar ini pula penyusunan kebijakan IRM jangka panjang tahap kedua mengalami perubahan sasaran umum dari sebelumnya, yaitu: Muktamar XII : diarahkan pada penataan dan pemantapan gerak organisasi dengan mengusahakan kemandirian atau otonomisasi dan pengembangan program-program advokasi kepelajaram/ keremajan yang muatan-muatanya antara lain adalah memupuk kepekaaan sosial politik, etos intelektual dan nilai-nilai moral kepada remaja/pelajar. Muktamar XIII : Diarahkan kepada mentradisikan kesadaran kritis di kalangan pelajar dan remaja melalui pengembangan nilai-nilai advokasi, kaderisasi dan penguatan infrastruktur. Muktamar XIV : diarahkan kepada pengembangan gerakan untuk mewujudkan gerakan IRM sebagai kekuatan transformatif di masyarakat dengan mengusahakan pengayaan program-program alternatif pemberdayaan. Muktamar XV : diarahkan kepada pengembangan gerakan untuk menuju internasionalisasi gerakan dengan mengupayakan bentuk pemberdayaan yang dapat menguatkan daya saing yang antara lain bermuatan penguasaan IPTEK dan keterampilan professional. Dalam pemilihan langsung Muktamar XIII ini menetapkan Munawwar Khalil selaku Ketua Umum dan Husnan Nurjuman selaku Sekretaris Jendral. Diantara berbagai pekerjaan besar yang menjadi amanat Muktamar XIII dalam periode ini antara lain : Sosialisasi hasil lokakarya sistem perkaderan IRM yang diorientasikan pada pembentukan kader Ikatan yang memiliki kesadaran kritis dan berbagai kegiatan pengkaderan yang juga diorientasikan kepada pembentukan kader kritis. Gerakan advokasi pada periode ini telah sampai pada fase pendampingan dan pembentukan komunitas advokasi. Hal ini diawali dengan perencanaan Gerakan Parlemen Remaja. Gerakan infrastruktur juga tetap menjadi prioritas. Hal ini diimplementasikan dengan berbagai perumusan dan penyesuaian berbagai mekanisme organisasi mensikapi berbagai perubahan dan perkembangan baik internal organisasi dengan perubahan struktur dan system pembinaan jaringan, maupun hal eksternal seperti otonomi daerah. Hal tersebut disikapi dengan Pedoman Pembentukan Peleburan dan Pemekaran Organisasi (P4O) IRM dan Penyesuaian Pedoman Administrasi IRM. FASE PERJALANAN IRM Sejarah perkembangan IRM, sejak dari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) hingga kemudian terjadinya perubahan nama menjadi Ikatan Remaja Muhammmadiyah (IRM) pada tahun 1992 telah melampaui proses yang panjang seiring dengan dinamika yang berkembang di masyarakat baik dalam skala nasional maupun global. Hingga saat ini IRM telah melampaui tiga fase perkembangan: Fase Pembentukan (mulai tahun 1961 s/d 1976) Kelahiran IPM bersamaan dengan masa dimana pertentangan ideologis menjadi gejala yang menonjol dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia dan dunia pada waktu itu. Keadaan yang demikian menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan tidak hanya persaingan kekuasaan di dalam lembaga pemerintahan, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi seperti ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka sudah menjadi kewajaran bila pada saat keberaadaannya IPM banyak berfokus pada upaya untuk mengkonsolidasi dan menggalang Kesatuan Pelajar Muhammadiyah yang tersebar di Seluruh Indonesia ke dalam wadah IPM. Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader dan dakwah banyak menjadi perhatian pada waktu itu. Upaya ini mulai dapat terwujud setelah IPM dapat merumuskan Khittah perjuangan IPM, Identitas IPM, dan Pedoman Pengkaderan IPM (hasil Musyawarah Nasional/ Muktamar IPM ke-2 di Palembang tahun 1969). Fase pembentukan IPM diakhiri pada tahun 1976, yaitu dengan keberhasilan IPM merumuskan system perkaderan IPM (SPI) hasil seminar Tomang tahun 1976 di Jakarta. Dengan SPI yang telah dirumuskan tersebut, maka semakin terwujudlah bentuk struktur keorganisasian IPM secara lebih nyata sebagai organisasi kader dan dakwah yang otonom dari persyarikatan Muhammadiyah. Fase Penataan (mulai tahun 1976 s/d tahun 1992) IPM memasuki fase penataan ketika bangsa Indonesia tengah bersemangat mencanangkan pembangunan ekonomi sebagai panglima, dan memandang bahwa gegap gempita persaingan ideologi dan politik harus segera di akhiri jika bangsa Indonesia ingin memajukan dirinya. Situasi pada saat itu menghendaki adanya monoloyalitas tunggal dalam berbangsa dan bernegara dengan mengedepankan stabilitas nasional sebagai syarat pembangunan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam keadaan seperti ini menjadikan organisasi-organisasi yang berdiri sejak masa sebelum orde baru harus dapat menyesuaikan diri. Salah satu kebijakan pemerintah yang kemudian berimbas bagi IPM adalah tentang ketentuan OSIS sebagai satu-satunya organisasi pelajar yang eksis di sekolah. Keadaan ini menyebabkan IPM mengalami kendala dalam upaya mengembangkan keberadaannya secara lebih leluasa dan terbuka. Di samping itu, masyarakat pun mengalami perubahan kecenderungan sebagai akibat dari kebijakan massa mengambang yang menghendaki dilepaskannya masyarakat dari situasi persaingan dan polarisasi ideologi dan politik. Dalam situasi seperti ini akhirnya terjadi sikap apatis pada sebagian masyarakat terhadap organisasi warna ideologi yang kental. Muhammadiyah meskipun tidak terlibat dalam aktifitas politik praktis tetap mengalami dampak sikap apatis tersebut. Akibatnya aktifitas yang dilakukan memang lebih bersifat pembinaan internal dan kegiatan dakwah sosial yang tidak terlalu kentara membawa misi ideologis. Dalam keadaan demikian IPM lebih memfokuskan aktifitasnya pada pembinaan kader dengan menekankan kegiatan kaderisasi untuk mencetak kader IPM yang berkualitas. IPM menyadari bahwa pola pembinaan kader tidak hanya cukup dengan melaksanakan aktifitas perkaderan dalam bentuk training-training semata. Permasalahan muncul ketika masyarakat pelajar sedang mengalami kegairahan religiutas. Banyak anggota dan kader-kader IPM yang telah dibina kemudian berbalik arah meninggalkan organisasinya menuju kelompok kajian keislaman yang lebih menarik perhatian dan mampu memenuhi keinginannya. Maka dalam masa ini IPM mulai menata diri dengan memberikan perhatian kepada aktifitas-aktifitas bidang pengkajian dan pengembangan dakwah, bidang Ipmawati serta bidang pengkajian lmu pengetahuan dan pengembangan keterampilan dengan porsi perhatian yang sama besar dengan bidang perkaderan. Agenda permasalahan IPM yang membutuhkan perhatian khusus untuk segera dipecahkan pada waktu itu adalah tentang keberadaan IPM secara nasional yang dipermasalahkan oleh pemerintah karena OSIS-lah satu-satunya organisasi pelajar yang diakui eksistensinya di sekolah. Konsekuensinya semua organisasi yang menggunakan kata pelajar harus diganti dengan nama lain. Pada awalnya IPM dan beberapa organisasi pelajar sejenis berusaha tetap konsisten dengan nama pelajar dengan berharap ada peninjauan kembali kebijaksanaan pemerintah tersebut pada masa mendatang. Namun konsistensi itu ternyata membawa dampak kerugian yang tidak sedikit bagi IPM karena kemudian kegiatan IPM secara nasional seringkali mengalami hambatan dan kesulitan penyelenggaraannya. Di samping itu beberapa organisasi pelajar yang lain yang senasib dengan IPM satu persatu mulai menyesuaikan diri, sehingga IPM merasa sendirian memperjuangkan konsistensinya. Pada sisi lain IPM merasa perlu untuk segera memperbaharui visi dan orientasi serta mengembangkan gerak organisasinya secara lebih luas dari ruang lingkup kepelajaran memasuki ke dunia keremajaan sebagai tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Maka pada tanggal 18 November 1992 berdasarkan SK PP Muhammadiyah No. 53/SK-PP/IV.B/1.b/1992 Ikatan Pelajar Muhammadiyah secara resmi berubah nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Fase Pengembangan ( mulai tahun 1992 sampai dengan 2002 ). Perubahan nama IPM menjadi IRM beriringan dengan suasana pada saat nama bangsa indonesia tengah menyelesaikan PJPT I, dan akan memasuki PJPT II. Banyak kemajuan yang telah diperoleh Bangsa Indonesia sebagai hasil PJPT I, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan pesat, stabilitas nasional yang semakin mantap, dan tingkat pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik. Namun demikian ada beberapa pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bangsa Indonesia pada PJPT II, antara lain, masalah pemerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi, demokratisasi, ketertingggalan di bidang iptek, permasalahan sumber daya manusia, dan penegakan hukum dan kedisiplinan. Sementara itu, era 90-an ditandai pula dengan semakin maraknya kesadaran berislam diberbagai kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Disamping itu peran dan partisipasi ummat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga semakin meningkat. Kondisi yang demikian memberi peluang bagi IRM untuk dapat berkiprah lebih baik lagi. Pada sisi lain, kemajuan tekhnologi komunikasi dan informasi semakin membawa manusia kearah globalisasi yang membwa banyak perubahan pada berbagai sisi kehidupan manusia. Tatanan sosial, budaya, politik, dan ekonomi banyak mengalami perombakan drastis. Salah satu perubahan mendasar yang akan banyak membwa pengaruh bagi bangsa indonesia adalah masalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi sebagaimana diputuskan dalam konferensi APEC merupakan kebijakan yang tidak terelakan karena mulai tahun 2003 mendatang Indonesia harus memaski era AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dilanjutkan pada tahun 2020 dalam skema liberalisasi perdagangan yang lebih luas tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Pengaruh liberalisasi ekonomi berdampak luas tidak hanya dalam aspek ekonomi saja, akan tetapi juga berdampak dalam kehidupan sosial politik dan budaya. Salah satu dampak yang sekarang sangat dirasakan adalah munculnya krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara dan sebagai Asia Timur. Munculnya krisis yang dimulai dengan timbulnya depresi mata uang, disebabkan oleh ketidaksiapan perangkat supra struktur dan infrasturtur baik ekonomi maupun poitik dalam mengantisipasi dampak globalisasi perdagangan. Fenomena ini kemudian memunculkan tuntutan reformasi dibidang ekonomi dan politik sebagai prasyarat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan krisis. Di Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena krisis dan menderita paling parah muncul tuntunan reformasi. Fenomena reformasi yang dituntut masyarakat Indonesia adalah reformasi yang mendasar diseluruh bidang baik dibidang ekonomi, budaya, politik bahkan sampai reformasi moral. Tuntunan reformasi ini jelas mendesak IRM untuk melakukan peran dan fungsinya sebagai organisasi keagamaan dan dakwa Islam dikalangan remaja menjadi lebih aktif dan responsif terhadap perkembangan perjalanan bangsa menuju masyrakat dan pemerintahan yang bersih dan modern. Dalam kondisi yang demikianlah IRM memasuki fase perkembangan, yaitu perkembangan pasca perubahan nama IPM menjadi IRM hingga terselenggaranya pelaksanaan pola kebijakan jangka panjang IRM pada muktamar XII. Diharapkan nantinya IRM telah mencapai kondisi yang telah relatif mantap baik secara mekanisme kepemimpinan maupun mekanisme keorganisasian sehingga mampu secara optimal menjadi wahana penumbuhan dan pengembangan potensi sumber daya remaja. Pengelolaan sumber daya yang dimiliki Ikatan Remaja Muhammadiyyah harus didukung dengan adanya peningktan kualitas pinpinan, mekanisme kerja yang kondusif yang seiring dengan kemajuan zaman, serta pemantapan dan pengembangan gerak Ikatan Remaja Muhammadiyah yang berpandangan ke depan namun tetap dijiwai oleh akhlak mulia. IRM dituntut untuk dapat menyipakan dasar yang kokoh baik secara institusional maupun personal sehingga tercipta komunitas yang kondusif bagi para remaja untuk siap menghadapi zaman yang akan datang.

Kamis, 23 Agustus 2007

Sabtu, 11 Agustus 2007

Membuat Link & New Window di Posting Blog

Dalam mengutip suatu pendapat dalam posting blog, biasanya kita akan memuat link website (situs) atau blog dari mana tulisan itu kita kutip. Pengutipan dg menyebutkan sumber link memiliki tiga fungsi utama: (1) Sebagai tanda bahwa tulisan kita itu cukup "ilmiah". (2) Sebagai apresiasi kepada sumber yg dikutip. (3) Sebagai salah satu cara untuk menambah traffic bagi blog kita sendiri, terutama apabila sumbernya adalah blogspot atau blog lain yg memakai sistem trackback (atau "link to this post" kalau di blogspot/blogger). Sekedar diketahui bahwa alamat website kita akan muncul di blog yg kita kutip, apabila pemilik blog tsb menghidupkan menu "link to this post". Dg demikian, setiap pembaca blog yg kita linkback akan melihat alamat blog Anda juga. Cara menghidupkan menu "link to this post" lihat di sini di poin (d) Backlinks --> Show. (a) Bagaimana cara membuat link di posting blog? (1) Tulis kata-kata, seperti "Di kutip dari tulisan Wimar Witoelar". (2) Highlight kata-kata di atas. (3) Klik ikon di bawah ini yg ada di toolbar. Akan muncul kotak yg ada tulisan "http://" (4) Isi kotak tsb. dg alamat situs atau link yg diinginkan. (5) Klik OK. Selesai. (b) Mengutip Permalink (Permanent Link) bukan alamat Blog Sumber kutipan yg kita link sebaiknya memakai alamat langsung artikel yg kita kutip, bukan alamat blog utama. Ini disebut juga dg Permalink atau permanent link. Misalnya, apabila Anda mengutip tulisan saya tentang Cara Mendaftar di Google Adsense, maka alamat permanen atau permalink-nya adalah http://kolom-mario.blogspot.com/2005/12/mendapat-beasiswa-dari-google-adsense.html (permalink), jadi bukan http://kolom-mario.blogspot.com (alamat blog). Apabila itu yg anda lakukan, maka nama dan alamat blog Anda juga akan muncul di akhir tulisan saya yg Anda kutip. Sehingga yg membaca tulisan saya tsb. juga akan tergoda untuk "takziyah" ke blog Anda. Kunjungi Mario

Korbankan Nyawa Demi Ibunda Tercinta

Korbankan Nyawa Demi Ibunda Tercinta JANJI BELIKAN KALUNG BELUM DITEPATI Kebakaran yang menghanguskan lima kios di Jalan Lingkar Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Kamis (21/4) menyisakan kisah pilu. Ibu dan anak tewas mengenaskan. Ternyata, sang anak berusaha menyelamatkan nyawa ibunda. KLIK - Detail Sebagian telapak tangan kanan, hidung, dan bibir Ibrahim (48) tampak melepuh. Saat ditemui NOVA di rumahnya di Jalan Lingkar Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Sabtu (23/4) sore, Ibrahim mengaku tangannya masih sakit dan sulit digerakkan. Luka itu terjadi saat kebakaran melanda kios miliknya di Pasar Manggis yang berlokasi di belakang Pasar Rumput, Kamis (21/4) malam. Di kios itu, ia menjual oli, bensin, sekaligus untuk bengkel sepeda motor. "Rasa sakit dan kerugian materi yang saya alami tidak sebanding dengan duka saya karena kehilangan istri dan anak saya. Saya menyesal tidak berhasil menyelamatkan mereka. Sungguh saya tidak tahu istri saya ada di dalam kios. Kalau saja tahu, saya pasti ikut berusaha menolong mereka. Sekarang mereka sudah tiada," ratapnya. TANGAN DIJILAT API Ayah 3 anak dan kakek dua cucu ini mengisahkan, kebakaran itu terjadi sekitar pukul 20.30. Saat itu, ia sedang kedatangan tamu Abdul Rohim, tetangganya yang bermaksud memperbaiki rem sepeda motornya yang rusak. "Saya segera memperbaiki karena bengkel akan segera saya tutup," tutur Ibrahim. Ketika sibuk menjalankan tugas sehari-harinya itu, posisi Ibrahim membelakangi kios dan menghadap ke arah jalan raya. "Tiba-tiba api muncul dari belakang saya dan menyambar tangan dan bibir saya," tutur Ibrahim sambil menunjukkan telapak tangannya yang melepuh. Secara refleks, Ibrahim mengibaskan lengannya untuk menghindari sulutan api. Tanpa dinyana, api dengan cepat sudah mengepung kiosnya. Api juga merembet hingga melalap empat kios yang berada di sebelah kanan dan kiri kiosnya. Dibantu warga, Ibrahim berusaha keras menyelamatkan sepeda motor milik Abdul Rohim sebelum akhirnya dia pingsan. "Tahu-tahu saya sudah diamankan warga ke rumah tetangga, jauh dari lokasi kejadian," ujar Ibrahim. KLIK - Detail Beberapa jam setelah siuman, ketua RT 01/11 Kelurahan Pasar Manggis ini mendengar kabar yang amat mengguncang batinnya. Wajahnya langsung pucat ketika para tetangga mengabarkan, istri terkasih, Satiah (47) dan anaknya Firdaus (23) ikut terpanggang dalam musibah kebakaran itu. "Sama sekali saya tidak tahu istri saya sedang tidur di bilik di dalam kios. Setahu saya dia sedang mengantar cucu saya, Bayu (1) ke rumah orang tuanya, tak jauh dari bengkel. Rupanya dia langsung pulang ke kios dan tidur di sana tanpa sepengetahuan saya," kata Ibrahim yang tidak tahu dari mana api berasal. Menurut Ibrahim, di balik etalase tempat memajang dagangan di kios berukuran 2x3 meter persegi miliknya itu memang menyisakan ruangan kecil yang memadai untuk istirahat. "Biasanya dia tidur di sana siang hari saat menjaga kios," tutur Ibrahim yang saat wawancara ditemani beberapa warga dan saudaranya. AJAK IBU BERCANDA Menurut cerita Soleh, seorang tukang ojek, anak kedua Ibrahim bernama Firdaus (23), tahu bahaya mengancam jiwa sang ibu yang masih berada di dalam kios. "Saya melihat, dia nekat menerobos kobaran api untuk menyelamatkan ibunya," kata Soleh. KLIK - Detail Menyaksikan adegan ini, Soleh dan beberapa warga terhenyak. Saat itulah Rudi, teman Firdaus, berusaha mencegah Firdaus. "Rudi berupaya keras menarik lengan Firdaus. Namun, Firdaus meronta-ronta. Upaya Rudi gagal. Selanjutnya Firdaus tetap masuk ke dalam kios sambil berteriak memanggil ibunya." Upaya gigih Firdaus berusaha menyelamatkan sang ibu gagal. Nasibnya sungguh tragis. Sebelum berhasil mengeluarkan ibunya, pintu gulung kios menutup dengan sendirinya. Pupus sudah upaya pemuda yang belum punya pacar ini untuk menyelamatkan jiwa ibunda. Malahan Firdaus sendiri ikut tewas terpanggang api. "Mayat Firdaus ditemukan tertelungkup, tak jauh dari jasad ibunya di balik etalase," lanjut Soleh. Dachyar, kerabat Firdaus, menambahkan, Firdaus yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek, saat kejadian baru saja pulang dari mengantar penumpangnya. "Melihat api sudah menjilat kios mereka, Firdaus teringat ibunya. Ia berlari ke rumah untuk memastikan posisi ibunya berada. Karena tidak menemukan ibunya di rumah, Firdaus kembali ke kios. Dia pikir, ibunya pasti ada di dalam kios yang terbakar itu. Saat itulah dia berupaya menerobos api untuk masuk ke dalam kios." Menurut Dachyar, Firdaus memang sangat dekat dengan ibunya. "Dia amat sayang kepada ibunya. Sering lo ia mengajak ibunya bercanda. Bahkan, kalau ibunya kebetulan marah, dengan mudah dia membujuk. Misalnya saja dengan menjanjikan akan membeli ibunya kalung. Saya sendiri mendengar janji itu diungkapkan Firdaus kepada ibunya. Namun janji itu belum ditepati, Firdaus sudah pergi bersama ibunya," jelas Dachyar. Sumber : Tabloid Nova

Jumat, 03 Agustus 2007

Dimanakah Letak Perempuan,Menurut anda?

Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia. Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia. Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Buku itu menjadi pedorong semangat para perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Sebagai seorang gadis Jawa yang tidak pernah lepas dari hukum “pingit’, ia berjuang untuk mengeluarkan kaumnya dari kebodohan. Bagi dirinya, hanya satu pikiran, membebaskan diri dari kebodohan. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma. Ada beberapa hal yang dapat kita peroleh dari perjuangan seorang perempuan desa, antara lain: pendidikan, kebangsaan, dan feminisme. Dengan membuat sekolah-sekolah gratis, ia berusaha untuk memajukkan pendidikan untuk menciptakan anak-anak bangsa yang terampil dan cerdas sehingga mampu mengimbangi perkembangan teknologi bangsa lain. Dari sini kita coba belajar pentingnya sebuah pendidikan bagi bangsa. Dengan majunya pendidikan bagi kaum perempuan, maka ia akan mampu mendidik anak-anaknya dengan baik, berbekal pengetahuan yang ia peroleh dari sekolah. Dari anak-anak yang cerdas tersebut akan muncul pemimpin bangsa yang tangguh dalam menghadapi tantangan karena dibekali kemampuan dam kepandaian sejak ia lahi, bersekolah, kembali ke rumah, bermasyarakat, dan beranjak tidur. Semua itu hanya bisa diperolah melalui figur perempuan yang hampir setiap saat selalu dekat dengan anak-anaknya. Pun begitu dengan kemajuan seorang ayah dan keluarga. Sosok ibu yang menjadi teman berbagi pikiran dengan ayah sangat diharapkan untuk memberi solusi keluarga dan kehidupan suaminya. Semakin luas pengetahuan seorang perempuan, maka sebuah masalah dapat diselesaikan dengan cepat karena segala pemecahan masalah tidak terpatok pada kemampuan laki-laki untuk memecahkan masalah, melainkan juga dari pihak perempuan. Pengaruh yang lebih luas lagi apabila laki-laki itu adalah seorang pejabat, dengan kemampuan yang dimilikinya, segala persoalan yang menyangkut urusan negara mampu dipecahkan dengan lebih jernih karena hadirnya pihak lain dengan masukan dan pertimbangan dari sisi yang berbeda. Beberapa pendapat yang kontra dengan pemikiran Kartini mengatakan segala hal yang berkenaan dengan urusan bangsa dan negara adalah tugas laki-laki. Nasib perempuan dengan mitos “konco wingking” seakan-akan mengaburkan makna dari feminisme Kartini. Keberadaan wanita yang selalu dinomorduakan dalam segala bidang, kewajiban perempuan yang hanya “kasur, dapur, sumur”, dan tabunya sebuah bangsa dipimpin oleh seorang perempuan merupakan “musuh besar” dari paham Kartini. Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria. Konsep “konco wingking” memang tidak selamanya salah bagi kaum feminis jika kita mencoba melihat konsep itu lebih dalam. Bagi Kartini, seorang perempuan memang selayaknya dan harus selalu menjadi “konco wingking”. Konsep ini sebetulnya meletakkan perempuan sebagai sharing untuk menjalankan roda keluarga. “Konco” atau teman dan “wingking” atau belakang merupakan wujud hubungan dimana antara satu dengan yang lainnya saling menjaga. Jika peran laki-laki selalu di depan, dalam rangka fungsi kemasyarakatannya, maka fungsi wanita sebagai “konco wingking” adalah menjaga agar kondisi keluarga tidak berantakan karena faktor lain yang tidak bisa dihadapi oleh laki-laki, yang sedang sibuk menjalankan fungsinya menjadi garis depan. Peran perempuan dalam hal ini bisa jadi sangat vital seperti halnya “kasur, dapur, sumur”. Jika semua hal tersebut tidak terpenuhi maka mustahil bagi seorang laki-laki untuk keluar dan menjalankan fungsinya dengan sempurna. Seorang laki-laki hanya menjadi bahan gunjingan bagi masyarakat karena ketidakmampuannya untuk menyeseuaikan diri dengan norma-norma masyarakat. Dan yang lebih fatal adalah nilai sebuah keluarga di mata masyarakat itu sendiri akan menjadi negatif.

Oknum Guru.........Bejat

Profesi guru sangat dihormati dalam masyarakat kita. Namun apa yang dilakukan guru Ed, 40 tahun, malah meremas-remas buah dada tiga siswi. Kurang ajar!.....Akibatnya, orang tua siswi marah dan menuntut sang guru dipecat dari tempatnya mengajar di SMP Budi Waluyo, Jalan Cisanggiri III/15, Blok Q 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Permintaan itu disampaikan para orangtua murid didampingi Deputi Menteri Peranan Wanita, Dr.Irma Alamsyah Djaya Putra, LBH APIK, dan Komnas Perlindungan Anak, Sabtu pagi (25/11), di sekolah yang siswanya sebagian besar penderita hiperaktif. Mereka diterima pimpinan yayasan, Mujiono, yang berjanji akan menindaklanjuti permintaan orangtua murid. “Ibu-ibu kami harap bersabar karena penyelidikan sedang berlangsung,” kata Mujiono, usai berdialog dengan orangtua murid dan rombongan. Tak puas dengan penjelasan pihak yayasan sekolah, akhirnya mereka mengadukan kasus yang menimpa anaknya ke Polres Jakarta Selatan. “Kami ingin penyelesaian secara hukum. Jangan korbankan masa depan anak kami,” kata Ny.Cindy Inkiriwang, 40, dan Ny.Feny Anggraeni, 42, orangtua siswa. Aksi pencabulan yang menimpa Vi, 13, Ik, 12, dan Ln, 12, terjadi saat para siswa mengikuti pelajaran ekonomi dan komputer yang diajarkan Ed. Saat itu Vi duduk di bangku belakang. Tiba-tiba Ed membuka kancing baju Vi dan meremas payudara Vi. Kejadian itu dilihat ketua kelas, Koko, dari jendela. Ternyata itu bukan ulah iseng semata yang dilakukan Ed. Tak berapa lama kemudian ia mengulangi aksi serupa terhadap Ik saat belajar komputer. Sang guru ini kemudian mengancam Vi agar tidak menceritakan apa yang sudah dilakukan ke orang lain. Sebenarnya setelah kejadian tersebut, para siswa sudah mengadukan kejadian ini ke guru agama dan guru bimbingan penyuluhan (BP). “Namun laporan tersebut hanya dicatat, tanpa ditindaklanjuti. Karena itu, kami terpaksa lapor ke polisi,” kata Cindy Inkiriwang. Akibat perbuatan itu, Vi dan Ik menjadi trauma dan malas pergi ke sekolah. Selain itu, kasus ini juga menjadi perbincangan para orang tua murid di sekolah tersebut. Sementara itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr.Meutia Hatta Swasono dalam suratnya yang dibawa Dr.Irma Alamsyah Djaya Putra menyesalkan peristiwa yang terjadi di Sekolah Budi Waluyo. “Hal ini tidak hanya perbuatan asusila melainkan juga melanggar UU Perlindungan Anak yang harus diberi sanksi hukum,” tegas Dr.Meutia Hatta(Sumber.WWW.Rileks.com)