Sabtu, 17 November 2007

IRM ; bagian dari 17 kaukus banyuwangi untuk pencerahan

Tameng Umat,Tameng bangsa Artikel Disadur Dari Mengge(g)erkan Kaukus 17 Oleh Barid Hardiyanto* Kaukus dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia berarti koalisi dari berbagai latar yang berbeda. Begitu juga dengan kelahiran Kaukus 17 yang sempat geger. Para anggota legislatif yang “potensial” pro rakyat ini terdiri dari anggota lintas fraksi yakni: PKB, PDI-P, Golkar, PAN, Partai Demokrat (bukan hanya PDI-P plus satu seperti yang diutarakan Sri Hono Wiharto, Ge(r)geran Kaukus 17 DPRD Banyumas, Suara Merdeka, 11/4/2006) yang sedang mengupayakan optimalisasi kinerjanya melalui peningkatan kapasitas anggota legislatif melalui pembentukan kaukus legislatif pro rakyat. Kaukus 17 dan Gerakan Sosial Baru Sebagai kabupaten yang memiliki luas wilayah 132.758,56 Ha yang terbagi dalam 27 kecamatan, 300 desa dan 30 kelurahan, dimana sebagian besar terdiri dari hutan dan persawahan, Banyumas menjadi wilayah yang dianggap strategis untuk pengembangan sumberdaya, terutama dari kekayaan alamnya. Sayangnya, kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Banyumas ternyata menuai problem karena tidak signifikan dengan kondisi sebagian besar petaninya yang mengalami kemiskinan. Hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah hutan telah dikuasai penuh oleh Perum Perhutani. Sebagian besar orang desa berubah menjadi buruh tani karena sebagian besar lahan sawah dikuasai orang kaya yang bukan warga Banyumas. Sumber air terbesar yang terletak di desa Karangmangu telah dikuasai perusahan pengelola air minum milik pemerintah setempat serta beberapa perusahaan swasta. Rata-rata penduduk desa hanya memiliki 0,25 Ha lahan pertanian sebagai satu-satunya sumber hidup, sisanya terdesak menjadi buruh tani. Meski Banyumas terkenal dengan gula kelapanya dengan jumlah penderes yang cukup banyak, tetapi kondisi pasar sangat tidak kondusif dengan rantai perdagangan yang sangat panjang dan monopolistic. Ditambah lagi perhatian pemerintah yang sangat minim terhadap para penderes yang akhirnya mengalami kemiskinan. Memang perkembangan kota Purwokerto semakin meluas, tetapi dampaknya justru mempersempit wilayah pertanian yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar penduduk Banyumas. Melihat kondisi ini, penduduk desa lebih banyak memilih menjadi buruh migran – Banyumas juga terkenal dengan stok buruh migrannya yang banyak- ketimbang harus terus-menerus mengurusi sector pertanian yang tidak menjanjikan, kalaupun buahnya adalah kasus kekerasan yang banyak menimpa mereka. Bagaimana sikap pemerintah daerah terhadap kondisi tersebut? Tidak sedikit program pembangunan yang dilempar pemerintah setempat, terutama ke wilayah pedesaan. Sebut saja IDT, PDM-DKE, PPK, subsidi BBM, JPS, pembangunan infrstruktur, rehabilitasi hutan dan lahan (hutan rakyat), penyaluran modal bagi usaha mikro, dana bergulir dan seterusnya. Program-program tersebut sebagaimana “proyek pemerintah” lainnya hanya berjalan sekenanya. Proyek tersebut seperti tak berbekas –kecuali bekas fisik yang kadang terlihat sudah rusak- karena memang bukan berasal dari kebutuhan masyarakat sesungguhnya. Hal itulah yang menjadi salah satu perhatian gerakan sosial di Banyumas. Mereka mengupayakan suatu gerakan yang partisipatoris dan berperspektif kerakyatan serta membuka jalan bagi alternatif lain: Another Banyumas is Possible. Gerakan tersebut bersebaran dalam berbagai macam sector dan isu baik yang digarap satu lembaga maupun jaringan. Beberapa diantaranya adalah: program kehutanan masyarakat dan lingkungan hidup (LPPSLH, Kompleet, KTH Argowilis, Setan Balong), Pertanian Berkelanjutan/reforma agrarian/kedaulatan pangan (BABAD, Kompleet, LPPSLH, PPB, PKBH, PBHI, Gatra Mandiri, jaringan reforma agraria), Pengembangan Usaha Kecil (LPPSLH, Gatra Mandiri), Perempuan (PKBH, BABAD, LPPSLH, PSW/Puslitwan, APPERMAS, Koalisi Perempuan), Anak –jalanan (Puslitwan, Biyung Emban), Miskin Kota (Forkomi, LSKAR), Pedagang Kaki Lima (LSKAR), tata ruang kota (LSKAR), pendidikan (Figurmas, FMN, KAMMI, IMM, IRM, HMI MPO, HMI DIPO, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI dan organisasi mahasiswa lokal- dan kelompok studi), Buruh (SBSI, SPSI), korupsi (FRMB), pembangunan partisipatif (Jaringan “Bengkel Kerja”), kemiskinan (LPPSLH, Gatra Mandiri), Keuangan Mikro (LPPSLH, Gatra Mandiri), pers/ media dan counter culture (AJI, PWI, Jaringan Media Alternatif, Youth Power, INRESS, kelompok budaya), isu-isu global (BABAD, Kompleet, LPPSLH, PKBH, PBHI, Gatra Mandiri dan ormas mahasiswa), pemerintahan lokal (KAMMI, IMM dan jaringan NGO), Fair Trade (P3R LPPSLH). Tentu saja gerakan ini juga didorong oleh individu-individu yang juga mempunyai komitmen gerakan. Sayangnya, gerakan tersebut belum terbukti mampu mengangkat masyarakat dari jurang ketertindasan. Oleh karena itu diperlukan langkah strategis lain dengan melibatkan stakeholder lainnya, yakni pelaku gerakan yang ada di “jalur kekuasaan”. Dalam konteks teori gerakan sosial baru hal tersebut saat ini “sah” untuk dilakukan. Dengan telah dideklarasikannya kaukus legislatif yang menamakan dirinya Kaukus 17 pada tanggal 1 Mei 2006, jalan perubahan nampaknya semakin terang. Beberapa anggota legislatif telah muncul di media massa maupun di ruang-ruang formal legislatif dengan agenda-agenda kerakyatan. Contoh paling nyata adalah anggota legislatif melakukan dengar pendapat dengan DPR-RI mereka mengusung agenda yang selama ini digelar oleh gerakan sosial seperti: realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD, penolakan atas revisi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, perlunya perhatian terhadap buruh, perlunya layanan kesehatan yang murah, perlunya peninjaunan kembali program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan Operasi Hutan Lestari yang dilakukan Perhutani, memperjuangkan nasib guru dan tenaga honorer, perlunya penataan ulang atas struktur agraria, perbaikan dalam perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipili (CPNS). Berbagai desakan di atas disambut salut oleh DPR-RI, bagi mereka baru kali ini dengar pendapat DPRD tidak menyangkut kepentingan mereka sendiri. Jadi, kege(g)eran keberadaan Kaukus 17 memang perlu diteruskan. Fungsi gerakan sosial lainnya adalah terus melakukan kontrol terhadap kinerja yang dilakukan Kaukus 17 agar tetap berada di rel yang tepat: berpihak pada kepentingan rakyat sebagaimana fitrah DPRD sebagai wakil rakyat.. Selamat datang Kaukus 17. Selamat berjuang dalam kancah pergerakan sosial berdimensi kerakyatan. *Aktivis gerakan sosial di Banyumas dan pembelajar another Banyumas is Possible (www.anotherbanyumas.blogspot.com)

Tidak ada komentar: