Rabu, 19 Desember 2007

Resensi Buku " Islam Syari’ah Vis A Vis Negara "

Judul Buku : Islam Syari’ah Vis A Vis Negara Penulis : Zuly Qodir Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta Cetakan : Pertama, September 2007 Tebal : 351 Halaman Peresensi : Ahmad Hasan MS, Pustakawan Kutub Yogyakarta Gerakan formalisasi syari’ah islam akhir-akhir ini marak bak jamur di musim hujan. Di berbagai daerah, wacana formalisasi syari’ah islam mengemuka melalui berbagai macam bentuk tuntutan pemberlakuan peraturan daerah (Perda) berlabel islam yang diusung oleh sekelompok kecil umat islam. Namun, terlepas dari adanya berbagai macam penafsiran, wacana formalisasi syari’at islam kurang mendapat dukungan dari dua ormas besar islam; yakni Nahdlatul Ulama’( NU) dan Muhammadiyah. Buku Islam Syari’ah vis Avis Negara ; ideologi gerakan politik di Indonesia yang ditulis oleh Zuly Qodir, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian ( PSKP ) UGM ini berusaha mengurai secara apik fenomena “demam Syari’ah” di Indonesia. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan dari beberapa karangan penulis yang tersebar di berbagai jurnal perguruan tinggi di Yogyakarta. Bagi Zuly Qodir, lahirnya gerakan formalisasi syari’at islam di negara pluralistik ini merupakan fenomena krusial yang mengundang perdebatan panjang yang tidak pernah berhenti. Akan tetapi, -menurutnya- paling tidak dilatarbelakangi tiga problem. Pertama, problem teologis, yakni karena faktor keyakinan dari pemeluk agama berdasarkan pemahaman atas teks kitab suci secara parsial dan bersifat rigid-tekstual. Akibat dari problem ini, tak jarang menimbulkan adanya truth claim ( klaim kebenaran ) dari para pemeluk ajaran agama sehingga di luar ajaran agama mereka dianggap sesat dan salah. Fenomena inilah yang -oleh Ahmad Najib Burhani- mengakibatkan konflik dan malapetaka dari berbagai pemeluk agama. Kedua, problem kultural. Perbedaan tradisi, keturunan dan lingkungan dari berbagai macam pemeluk agama yang ada di tanah air. Perbedaan ini kemudian bukan dimaknai sebagai rahmat akan tetapi dimaknai sebagai ancaman. Karena itu, wajar bila akhirnya berlaku sifar Su’uddzhan ( prasangka buruk ) dari umat agama lain. Ketiga, problem struktural. Kontrol negara yang begitu ketat terhadap kehidupan umat beragama misalnya tentang SKB( Surat Keputusa Bersama ) dua menteri, yakni menteri agama dan menteri dalam negeri ternyata bukan menimbulkan suasana toleransi antar pemeluk agama akan tetapi mengundang konflik antarumat agama. Adanya undang-undang Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang mengatur tentang perkawinan, hak perwalian, hak pewarisan dan hak pengadopsian anak tak jarang juga menimbulkan problem hubungan umat beragama. Itulah sebabnya, jalan keluar dari kemelut tersebut diatas bagi Zuly Qodir harus menempatkan paradigma kesetaraan dalam kebenaran gama, dengan menumbuhkan Mutual Trust yaitu mengakui dan menghargai kehidupan antarumat agama sehingga tercipta kondisi saling memahami dan toleransi antarumat beragama. Adanya dialog yang terbuka antar pemeluk agama secara intensif dan massif dan jujur juga penting untuk membangun kesepahaman bersama. Pendidikan multikulturalisme juga perlu dikembangkan sebagai jalan untuk menyemai rasa kebangsaan ditengah pluralisme agama. Buku ini layak dibaca bagi semua kalangan yang ingin menyimak lebih jauh tentang merebaknya gerakan syari’ah islam di indoensia. Dengan pendekatan ilmu sosial dan politik, penulis berhasil memadukan keduanya dengan analisisnya yang tajam dan bahasanya yang sederhana sekaligus sarat dengan referensi. Selamat membaca !. Sumber :http://gp-ansor.org/

Tidak ada komentar: