Selasa, 20 November 2007

Makalah Bedah Buku "Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah" Karya Abdullahi A. An-Na'im

Oleh Ahmad Suaedy “…peran politik Islam tak dapat dipertahankan tanpa reformasi Islam yang signifikan.” (An-Na’im, 2007 hlm. 65). Tulisan ini hanya akan membahas dua teori atau proposisi dari Prof. Na’im yang keduanya saya sepenuhnya setujui. Namun ada beberapa argumen, khususnya dalam konteks Indonesia, yang mungkin berguna untuk memperkuat argumen yang telah diajukan dalam buku ini. Dua hal itu adalah pertama, bahwa pemisahan agama dan negara adalah semacam situasi sine qua non untuk perkembangan dan peran Islam atau Syari’ah ke depan. Namun pemisahan agama dan negara itu tidak selalu berarti sekularisme atau bahkan sekularisasi—apapun arti dari dua kata tersebut. Tetapi di sisi lain bahwa pemisahan agama dan negara tidak selalu berarti agama tidak boleh atau tidak akan bersinggungan dengan politik. Kedua adalah bahwa tuntutan penerapan Syariah sebagai hukum positif yang menjadi fenomena di banyak negara merupakan kombinasi antara problem mengolah warisan sejarah Islam dengan gejala post-kolonial sehingga ia kurang lebihnya sebagai sebuah proses alami yang nyaris tidak bisa ditolak. Masalahnya adalah bagaimana realitas obyektif itu harus dilihat dan, jika mungkin, melakukan antisipasi dan negosiasi untuk keuntungan umat Islam sendiri dan umat manusia secara umum. Islam dan Pemisahan Agama dan Negara yang Tuntas: Kasus Nahdlatul Ulama (NU) Prof. Na’im cukup detail melihat dinamika Islam Indonesia berkaitan dengan Syari’ah, tetapi saya melihat tampaknya ia lebih melihat dari sudut negara, setidaknya dalam buku ini, dan belum memberi contoh kongkrit dari sudut praktik atau pergulatan yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Dari sudut Islam, perspektif hubungan antara agama dan negara memang belum tuntas didiskusikan. Satu pihak melihat bahwa agama dan negara dalam Islam adalah satu (din wa daulah) hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pendapat ini antara lain dianut misalnya oleh para pemimpin Ikhawanul Muslimin yang mula-mula tumbuh di Mesir dan Jamaat al-Islamy yang tumbuh di Pakistan, dan para pengikut mereka yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi harus diketahui bahwa pandangan seperti ini cakupannya sangat luas, dari yang sangat ekstrim sampai yang sangat lunak. Namun dari mereka bisa ditarik garis merah bahwa esksisteni negara-bangsa yang sekuler adalah bersifat sementara yang harus diperjuangkan terus menerus hingga terealisasikannya kesatuan dua unsur tersebut.

Tidak ada komentar: