Selasa, 20 November 2007

Negara Sekuler Yes, Masyarakat Sekuler No!!!

IMPLEMENTASI syariat Islam dalam negara modern jadi polemik publik yang pasang surut di Indonesia. Sepanjang Orde Baru, isu ini sempat redup. Begitu reformasi bergulir, wacana ini kembali meletup-letup. Spektrum pendukung dan penentangnya pun cukup beragam. Ada yang ekstrem, ada yang moderat. Pendukung yang bergaris ekstrem sampai mengusulkan perubahan fundamental, dengan mengubah sistem politik jadi khilafah atau negara Islam. Sementara penentang bergaris keras mendesak perlucutan total negara dari anasir agama. Di tengah pentas wacana keagamaan demikian, sebulanan ini Indonesia kehadiran pakar dan peneliti syariat Islam terkemuka asal Sudan, yang kini jadi guru besar di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat: Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im, 61 tahun. Ia mempromosikan hasil riset empiriknya tentang penerapan syariat Islam di berbagai negara: Turki, India, Mesir, Sudan, Uzbekistan, dan Indonesia. Dimuat dalam buku Islam dan Negara: Menegoisasikan Masa Depan Syariah. Kamis pekan lalu, buku itu didiskusikan di Jakarta. Sebelumnya di Aceh, disusul diskusi di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar, yang dikelola Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Na’im menawarkan pandangan jalan tengah antara kaum fundamentalis yang menghendaki penyatuan agama dan negara dengan kalangan sekuler liberal yang ingin pemisahan total keduanya. Berikut petikan wawancara Asrori S. Karni dan Basfin Siregar dari Gatra dengan Na’im di Hotel Kristal, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Bagaimana Anda menempatkan syariat Islam dalam kehidupan pribadi? Saya seorang muslim, terikat oleh syariat, bertanggung jawab atas syariat, dan kalau meninggal akan menghadapi penghakiman. Saya bertanggung jawab atas perbuatan saya. Yang ingin saya katakan, ini bukan urusan negara. Saya tinggal di Amerika, Sudan, atau Cina, saya tetap terikat oleh syariat karena saya muslim, tapi tidak ada kaitan dengan negara. Saya menyebutkan di buku saya ini: menegosiasikan masa depan syariat. Saya percaya masa depan syariat. Tapi masa depan itu di luar negara. Membiarkan negara mengambil alih syariat akan merusak masa depan syariat, karena akan membuat orang jadi munafik. Anda patuh bukan karena Allah, melainkan karena paksaan negara. Anda mendukung negara sekuler. Mungkinkah religiusitas yang Anda anut itu bisa dikembangkan? Saya mendukung negara sekuler, tapi saya tidak mendukung masyarakat sekuler. Ada perbedaan mendasar. Pada masyarakat sekuler, agama tidak punya peran sama sekali dalam kehidupan sosial. Tapi, pada masyarakat religius yang tinggal dalam negara sekuler, faktanya justru masyarakat itu lebih religius dibandingkan dengan yang berada di negara Islam. Ini karena masyarakat mengikuti Islam atas kesadaran, bukan paksaan. Bagaimana Anda mendefinisikan negara sekuler? Negara sekuler adalah negara yang bersikap netral, apa pun agama warga negaranya. Negara ini tidak boleh ikut campur dalam soal bagaimana saya menjalani hidup sebagai muslim. Negara seperti Iran dan Arab Saudi yang mengklaim berdasarkan Islam justru membatasi kebebasan pilihan saya sebagai muslim. Di Arab Saudi, warga yang beraliran Syiah dipaksa menerima doktrin Wahabi. Padahal, mereka menganggap doktrin itu penyimpangan. Kaum Suni di Iran menghadapi masalah serupa. Negara seperti Amerika dan Inggris lebih menyerupai negara Islam dibandingkan dengan Arab Saudi dan Iran. Faktanya, ketika seorang muslim dihukum di negara mereka, tidak ada yang pergi ke negara Islam lain. Mereka pergi ke Barat. Di sana mereka bisa meneruskan kepercayaan mereka. Karena itu, masyarakat yang religius lebih mungkin terwujud di negara sekuler dibandingkan dengan di negara Islam. Mereka beragama karena kesadaran, bukan karena takut pada negara. Di antara sekian negara berpopulasi mayoritas muslim, mana yang paling mendekati konsep ideal Anda tentang negara sekuler yang netral agama itu? Lebih Lanjut, Baca http://lateralbandung.wordpress.com/2007/08/10/abdullahi-ahmed-an-naim-%e2%80%9cnegara-sekuler-yes-masyarakat-sekuler-no/

Tidak ada komentar: